Kamis, 18 November 2010

SEJUTA NYALI UNTUK SATU PERUBAHAN

RESENSI BUKU

SEJUTA NYALI UNTUK SATU PERUBAHAN

Judul : Saya Nujood, Usia 10 Tahun dan Janda
Jenis Buku : True Story
Penulis : Nujood Ali bersama Delphine Minoui
Penerjemah : Lulu Fitri Rahman
Penerbit : Pustaka Alvabet
Tahun Terbit : 2010
Halaman : 236

Buku ini mengisahkan sekelumit perjalanan hidup dari seorang gadis belia, Nujood Ali, yang dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengan seorang lelaki yang usianya tiga kali lipat dari usia sang gadis. Pernikahan yang secara paksa merenggut keceriaan masa anak-anaknya. Pernikahan yang membuat Nujood mesti tinggal bersama suami dan keluarganya di sebuah desa terpencil di pedalaman Yaman. Berbagai bentuk penganiayaan fisik dan emosional datang bertubi-tubi dalam kehidupan Nujood, baik dari si ibu mertua maupun oleh suaminya sendiri. Keperawanannya direnggut oleh sang suami yang pernah berjanji untuk tak menyentuhnya sebelum ia cukup umur. Keperawanan yang direnggut saat Nujood tak sepenuhnya mengerti arti keperawanan dan malam pertama itu sendiri. Yang ada hanyalah rasa sakit di antara kedua kakinya dan menyisakan trauma yang panjang dalam hidupnya di kemudian hari.

Beban derita yang dirasa terlalu berat untuk dipikul di pundak-pundak kecilnyalah yang pada akhirnya membulatkan tekad sang tokoh utama ini untuk melarikan diri dari rumah, dari suami dan keluarganya, menginjakkan kakinya untuk yang pertama kali di sebuah gedung pengadilan. Sebuah keputusan amat berani yang dilakukan oleh anak seusianya, keputusan yang perlahan namun pasti, memberikan setitik demi setitik cahaya terang dalam hidupnya yang nyaris gelap lantaran kekolotan sistem di sebuah negeri yang sebagian gadis-gadisnya lazim menikah di bawah umur. Keputusan yang tak pernah ia sesali, keputusan itu pulalah yang sedikit demi sedikit mampu menggerus rasa trauma yang menghantui hati mungilnya dan mengembalikan nuansa anak-anaknya, bahkan mengilhaminya untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit, sesuatu yang langka untuk kebanyakan gadis Yaman.

Hebatnya, nyalinya yang sudah teruji dalam mendobrak sebuah sistem kolot di negeri di mana ia dilahirkan itu tak hanya mengubah kehidupannya saja, namun juga kehidupan gadis-gadis lain yang dirajam masa anak-anaknya oleh pernikahan di bawah umur yang mengatasnamakan adat istiadat dan kehormatan keluarga. Keberanian Nujood dalam menentang adat istiadat dan dukungan luar biasa dari sejumlah orang yang terus mencoba mengembalikan Nujood ke dalam fitrahnya sebagai gadis belia yang sangat mendambakan saat-saat bermain-main dengan sebayanya ketimbang memanggul beban sebagai seorang isteri yang harus melayani suami, telah menarik perhatian dunia internasional. Nujood, gadis kecil di pelosok Negeri Yaman mekar layaknya selebritis baru.

Mungkin, buku ini tak akan jadi menarik jika hanya sekedar mengangkat kisah pernikahan di bawah umur yang dialami Nujood. Pasalnya, kisah semacam Nujood ini sebenarnya begitu banyak terjadi, mungkin hampir di seluruh belahan dunia, juga di negeri kita tercinta ini, Indonesia. Namun, buku ini menjadi sebuah inspirasi besar yang menggugah nurani lantaran tak banyak dari para korban pernikahan di bawah umur yang berani menentang dan memperjuangkan kembali asa akan cita-cita yang mulai memudar, dan Nujood adalah salah satu pemberani itu.

Banyak manfaat yang bisa dipetik dari membaca buku ini. Meski diungkap dengan gaya bahasa yang sederhana, disisipi dengan beberapa kata asing, penulis nampaknya malah berhasil memberikan gambaran yang nyata akan kepolosan pola pikir dan perasaan anak berusia 10 tahun. Bagi pembaca yang memiliki keluarga atau kerabat yang mengalami pemaksaan pernikahan di bawah umur, kisah yang dirangkum dengan apik ini mungkin bisa dijadikan referensi bagus guna mencegah terulangnya kembali pernikahan-pernikahan serupa di kemudian hari atau mungkin membantu para korban pernikahan itu untuk kembali mendapatkan kehidupannya yang telah direnggut paksa oleh orang-orang dewasa yang mestinya jadi pengayom mereka dan berdiri di garda terdepan dalam mengasuh dan menjaga mereka dari segala bentuk eksplorasi baik yang nyata nampak maupun yang tersembunyi di balik kolotnya adat istiadat .

Sementara bagi yang belum pernah mengalami atau mengetahui adanya kisah demikian, buku ini dapat dijadikan pembuka mata, penambah wawasan, dan tentunya pembangkit rasa syukur yang tak habis-habisnya bahwa kita tak dilahirkan dan dibesarkan dalam adat istiadat yang demikian hingga sampai hari ini, saat kita bertumbuh semakin dewasa, kita tak kehilangan satu momen pun dalam masa anak-anak kita dan kita masih bisa menghimpun kembali kenangan-kenangan tentang masa anak-anak kita yang telah lalu dalam sebuah bingkai kenangan yang indah, bukan bingkai trauma yang menguras air mata.



BIARKAN AKU MEMILIH

RESENSI BUKU
BIARKAN AKU MEMILIH

Judul : Biarkan Aku Memilih
Jenis Buku : True Story
Penulis : Hartoyo bersama Titiana Adinda
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun Terbit : 2009
Halaman : 134

Biarkan Aku Memilih merupakan judul dari sebuah buku yang menceritakan mengenai pengakuan seorang gay di tanah rencong yang coming out alias telah berbicara jujur mengenai orientasi seksualnya kepada publik. Kisah yang dikupas tuntas dalam buku ini bukanlah sebuah kisah fiksi atau dongengan semata, melainkan kisah nyata, kisah hidup seorang Hartoyo yang sejak kecil telah merasakan getar-getar aneh dengan sesama lelaki. Getaran aneh yang tak lekang oleh waktu dan terus terbawa hingga ia mulai beranjak makin dewasa. Ia sendiri tak tahu pasti mengapa hal itu bisa terjadi. Sebuah pengakuan yang jamak terdengar dari penuturan banyak pecinta sesama jenis lainnya.

Hartoyo dilahirkan di Binjai, Sumatra Utara dan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri baginya hingga ia bisa menamatkan studinya di sebuah universitas negeri di Aceh. Kebanggaan karena bukan hal mudah untuk seorang Toyo (nama panggilan Hartoyo) bisa ikut menimba ilmu di bangku kuliah di kampus itu, butuh perjuangan dan pengorbanan tentunya. Namun, Aceh tak hanya meninggalkan kenangan kebanggaan semata. Di Aceh pulalah ia mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari masyarakat dan kepolisian lantaran orientasi seksualnya yang tak seperti kebanyakan orang yang dipandang sebagai ‘normal’, dan Toyo diletakkan di kutub seberang sebagai ‘abnormal’ karena ia penyuka sesama jenis, sesama pria.

Namun, Toyo tetaplah Toyo. Kekerasan yang ditimpakan padanya tak serta merta membuatnya ‘jera’ dan menyembunyikan orientasi seksualnya yang sesungguhnya di balik topeng heteroseksualitas. Ia tetap setia pada pilihan hidup yang telah diambilnya, menjadi seorang gay, mengungkapkannya dengan jujur pada siapapun yang ingin mengetahuinya, dan tentu saja, ia tetap berpegang teguh pada komitmennya untuk berjuang demi nilai-nilai kemanusiaan yang kerap terasa jauh dari kaum minoritas dan terus menunggu datangnya keadilan atas penyiksaan yang pernah dialaminya dulu.

Terlepas dari pro dan kontra yang selalu mengiringi perjalanan hidup kaum homoseksual dan apakah detil kisah yang dipaparkan dalam buku ini mampu menguras air mata pembacanya atau tidak, buku ini telah layak untuk menambah referensi kita mengenai serba-serbi hidup dengan berbagai kisah dan lakon-lakon yang diperankan. Mungkin, buku inipun tak diluncurkan dalam rangka menjaring siapa yang setuju atau tidak setuju dengan adanya kaum homoseksual, yang nyata kisah ini mengajarkan tentang tingginya makna dalam sebuah kejujuran. Tak mudah memang menjalani hidup menuruti peran yang telah dipilih seperti pilihan seorang Toyo, menjadi homoseksual, entah gay entah lesbian, yang terang, mengungkapkan jati diri termasuk orientasi seksual kepada publik dengan sejujur-jujurnya adalah jauh lebih sulit. Apalagi orientasi seksual yang dilabel sebagai ‘abnormal’ di masyarakat. Masih pula jika beradu dengan ketatnya norma-norma, misalnya norma agama seperti yang ada di Aceh.

Sedikit ulasan ini tak akan mengungkit masalah orientasi seksual itu sendiri. Tak akan pula mendebat mengenai heteroseksual, homoseksual, biseksual, transeksual, dan sebagainya. Namun lebih pada apresiasi atas kejujuran Toyo atas jati dirinya dan ucapan terima kasih dari pemilik blog ini atas pelajaran yang tak secara eksplisit ingin disampaikan kepada para pembacanya, yaitu agar selalu belajar dan berusaha untuk menghargai orang-orang di luar sana yang ‘berbeda’ dari kita dalam berbagai hal, orientasi seksual adalah salah satunya.

Senin, 10 Mei 2010

HIDUPMU TAK UNTUK BERHENTI

Siapa lagi yang hendak menguatkan hatimu, jika bukan dirimu sendiri…
Siapa lagi yang dapat meneguhkan jiwamu, kalau bukan kamu seorang…
Tak ada yang salah jika kau memiliki seorang belahan jiwa…
Seseorang yang kau tempatkan di tempat yang tertinggi di puncak hatimu…
Seseorang yang kedatangannya selalu kau nanti-nanti…
Seseorang yang kepergiannya kau tangisi dan sesali…
Yang salah hanyalah…
Manakala kau mati, saat dia tak ada di sampingmu…
Karena kau…
Tidak harus menjadi lemah dengan kehilangannya…
Tak juga perlu membuktikan kesungguhan hatimu dengan membiarkan separuh jiwamu mati bersama dia yang pergi…
Meninggalkanmu…
Sendiri…
Jalanilah hidupmu…
Sebagaimana yang seharusnya berjalan…
Cukup simpan dia dalam relung hatimu yang terdalam…
Dan temuilah, dan berbincanglah dengannya jika kau membutuhkan…
Karena hidup…
Harus tetap berjalan…
Dengan atau tanpa orang yang kau sayangi…

(Sedikit kata-kata untuk orang-orang yang membutuhkannya, yang merasa dirinya cocok dengan tulisan di atas. Tetap semangat!!)

SATU FAKTA DI ATAS LAJU BUS EKONOMI

Seorang wanita, kalau boleh saya taksir, usianya tak lebih dari empat puluh tahun, naik ke bus jurusan Jogja - Solo yang saya tumpangi. Hari masih siang saat itu. Panas teriknya matahari semakin membuat panas udara di dalam bus ekonomi itu. Saya duduk di urutan ke tiga dari depan.

Kembali pada wanita itu. Wanita itu berdiri dan terdiam beberapa saat, tak jauh dari kursi sopir. Awalnya, saya pikir, wanita tersebut juga seorang penumpang sama halnya dengan saya atau penumpang lainnya. Tapi, sesaat kemudian, wanita tersebut nampak mengeluarkan sesuatu dari dalam tas pinggang yang dikenakannya. Setumpuk amplop kecil rupanya. Kemudian, ia segera membagi-bagikan satu demi satu amplop tersebut kepada setiap penumpang bus, dari kursi paling depan dan kemudian terus ke belakang. Hingga sesaat kemudian, giliran saya yang mendapat amplop itu. Wanita itu meletakkan amplop di atas pangkuan saya. Amplop putih, kecil, dan ketika saya buka dan saya lihat isinya, ternyata tak ada apa-apa di sana alias kosong.

Awalnya, saya sempat bingung. Apa maksud wanita itu? Pun pula,wanita itu tak mengucapkan kata-kata sedikitpun. Kemudian, saya berinisiatif untuk mengamati amplop tersebut. Mungkin, ada sesuatu di sana. Ternyata, di salah satu sisi amplop tersebut, terdapat tulisan, “MOHON SUMBANGANNYA UNTUK MAKAN DAN KEBUTUHAN SEHARI-HARI.” Tulisan yang digoreskan dengan tinta pulpen warna biru. Semua dengan huruf kapital. Ooo… baru saya mengerti. Rupanya, wanita tersebut sedang meminta-minta uang.

Terbersit dalam pikiran saya, kenapa wanita tersebut tidak berbicara barang sepatah dua patah kata sebelum membagikan amplop? Seperti yang biasa dilakukan para pengamen, penjual asongan, atau peminta-minta sumbangan lainnya di bus ekonomi. Oh, mungkin wanita itu tuna wicara. Begitu jawaban yang paling nampak masuk akal di pikiran saya.

Saya nyaris saja memasukkan lembaran uang ribuan ke dalam amplop yang tadi dia berikan. Tapi, saya kemudian mengurungkannya. Kenapa? Sesaat sebelum saya memasukkan uang ke dalam amplop, wanita tersebut telah kembali ke barisan kursi paling depan dan meminta kembali amplop-amplop tersebut satu per satu. Sambil mengambil amplop, wanita tersebut berkata, “Terima kasih… terima kasih…,” begitu seterusnya.

Itulah yang menggelitik benak saya dan mendorong saya untuk memasukkan kembali lembaran uang ribuan ke dalam kantong celana. Jujur, baru kali ini saya bertemu dengan orang yang meminta-minta uang tapi tanpa bicara apapun sebelumnya, padahal orang tersebut juga bukan seorang tuna wicara.

Beberapa saat sebelum wanita itu masuk ke dalam bus dan memulai aksinya membagikan amplop, seorang lelaki paruh baya telah terlebih dahulu mengamen meski suaranya terdengar tak jelas karena rupanya ia mengalami gangguan dengan suaranya sehingga yang menonjol hanyalah bunyi-bunyi tutup botol yang disusun sedemikian rupa, di antara sesaknya penumpang. Ada pula sekelompok pengamen yang terdiri dari lima orang, yang menyanyikan dua lagu dengan iringan beberapa alat musik. Cukup lengkap, iramanya juga cukup teratur, dan yang pasti cukup menghibur untuk ukuran musisi jalanan. Tapi, bagaimana dengan wanita tersebut?

Pertemuan dengan wanita pembawa amplop itu memaksa saya untuk merenung. Sesaat setelah wanita itu meminta kembali amplopnya dari saya, saya berpikir. Bahkan sampai saat ini, setelah berbulan-bulan kemudian, pikiran tersebut masih kerap muncul, hingga saya menuliskannya di blog ini. Apakah hidup memang sudah sedemikian sulitnya hingga tidak ada lagi pekerjaan lain yang dapat dilakukan untuk mendapatkan makan? Hingga beberapa orang (salah satunya wanita pembawa amplop itu) menjadi begitu putus asa, kemudian memilih menjadi peminta-minta yang dengan mudahnya membagi-bagikan amplop kosong dan berharap dermawan untuk mengisinya?

Atau sebenarnya, beberapa orang memang telah sedemikian malasnya hingga enggan untuk bekerja sedikit lebih keras untuk mencari uang tanpa harus menjadi peminta-minta? Apakah saking malasnya, hingga ia memilih untuk menggantungkan hidupnya begitu saja pada orang lain?

Semoga pikiran saya yang ke dua adalah salah. Semoga, kejadian seperti di bus itu bukanlah suatu kondisi yang akan terus begitu tanpa bisa diubah. Saya hanya tak yakin, jalan mencari uang seperti yang wanita tersebut lakukan, seberapa banyakpun uang yang bisa ia peroleh setiap harinya, akan dapat membuat hidupnya atau hidup keluarganya menjadi lebih baik. Karena, ini berkaitan dengan mind set mereka. Ketika pikiran orang telah diformat menjadi malas, jangankan bekerja keras untuk memperoleh uang dengan pekerjaan yang lebih baik demi meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik pula; diberikan segudang fasilitas pun, orang malas tetap sulit menjadi lebih rajin tapi malasnya malah semakin menjadi. Semoga saja, wanita tersebut mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari pada yang ia lakukan saat saya bertemu dengannya. Semoga…

Selasa, 27 April 2010

MASALAH DAN STRES, KEMBAR SIAM TAK TERPISAHKAN

Seorang mahasiswa semester akhir baru saja keluar dari ruang dosen. Salah seorang teman bertanya, “Eh, gimana tadi? Lancar, kan?” Si mahasiswa menjawab, “Ah, gak tau deh, stres aku…,” ujarnya sambil setengah membanting hasil revisi skripsi.

Seorang anak kelas enam SD pulang ke rumah dengan wajah cemberut. Heran melihat anaknya tak seceria biasanya, sang mama bertanya, “Adek kenapa, sih? Kok pulang-pulang cemberut,” ujar sang mama. Si anak menjawab, “Ma, adek sebel. Nilai ulangan adek lebih jelek dari Siti,” jawab si anak sambil manyun. Malamnya, si anak demam tinggi. Sudah di bawa ke dokter, tapi dokter bilang, anak itu secara fisik baik-baik saja.

Dua kisah di atas hanyalah sedikit gambaran betapa masalah dan stres bisa menimpa siapa saja. Mulai dari yang dewasa bahkan yang masih anak-anak. Masalah pemicunya juga beragam. Ibarat kata, masalah pemicu stres sebanyak jumlah kepala manusia di dunia. Dampaknya, juga bisa berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain.

Saya masih ingat, ketika saya masih SD, jika ibu saya pergi ke luar kota karena harus menjalani suatu pengobatan, malamnya saya pasti demam tinggi. Ketika saya SMP, jika rangking saya turun, saya langsung sakit dan harus dibawa ke dokter. Bukan hanya saya, ibu saya yang menderita penyakit kanker mengharuskannya secara rutin melakukan cek darah untuk melihat pertumbuhan sel-sel kanker. Ternyata, sekian tahun saya mendampingi beliau, akhirnya saya dapat menyimpulkan bahwa masalah dan stres yang beliau hadapi dapat begitu mempercepat pertumbuhan sel-sel kankernya. Hingga beliau harus tutup usia saat saya saya baru berumur 15 tahun.

Hmm…, dan sekarang, saya sudah duduk di bangku kuliah di jurusan psikologi semester akhir. Banyak kajian mengenai stres dan dampak-dampaknya saya pelajari. Dan tulisan ini, adalah sebagian dari apa yang telah saya pelajari di samping banyak hal di luar sana yang masih harus saya pelajari. Biar sedikit, semoga bermanfaat. Selamat membaca…

Hubungan antara pikiran (mind) dan tubuh (body) telah menjadi topik perdebatan sejak dahulu kala. Rene Descartes mempengaruhi pemikiran modern dengan keyakinannya tentang dualisme atau keterpisahan antara pikiran dan tubuh. Sekarang, para klinisi dan ilmuwan menyadari bahwa pikiran dan tubuh sangat kuat terjalin, tidak seperti yang diperkirakan oleh model dualistik. Dengan kata lain, kesehatan mental dan kesehatan fisik tidak terpisahkan (Kendler, 2001). Stres berimplikasi secara luas pada masalah-masalah fisik dan psikologis.

Stres dan Penyakit
Beberapa kelenjar endokrin terlibat dalam menampilkan respon tubuh terhadap stres. Hormon-hormon stres yang diproduksi oleh kelenjar adrenal membantu tubuh menyiapkan diri mengatasi stresor atau ancaman. Apabila strsor sudah terlewati, tubuh kembali ke keadaan normal. Selama stres yang kronis, tubuh terus-menerus memompa keluar hormon-hormon, yang dapat menyebabkan kerusakan pada keseluruhan tubuh, termasuk menekan kemampuan dari sistem kekebalan tubuh yang melindungi kita dari berbagai infeksi dan penyakit (“Can Stress Make You Sick?”, 1998).

Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa stres membuat kita rentan terhadap penyakit karena melemahnya sistem kekebalan tubuh (Adler, 1999; Dougall & Baum, 2001; Strenberg, 2000). Melemahnya sistem kekebalan tubuh membuat kita rentan terhadap penyakit umum seperti demam dan flu, dan meningkatkan resiko berkembangnya penyakit kronis termasuk kanker. Stres karena peristiwa traumatis seperti berbagai bencana alam, bencana teknologi maupun bencana teknologi, tindak kekerasan; stresor kehidupan seperti perceraian dan tidak memiliki pekerjaan dalam waktu yang lama, juga mempengaruhi sistem kekebalan (O’Leary, 1990; Solomon dkk., 1997). Stres yang kronis juga dapat memperlambat kesembuhan luka (Kielcot-Glaser dkk., 1995).

Perubahan hidup dapat pula menjadi sumber stres. Perubahan hidup atau peristiwa hidup menjadi sumber stres bila perubahan tersebut menuntut kita untuk menyesuaikan diri. Perubahan hidup dapat berupa peristiwa menyenangkan seperti pernikahan maupun peristiwa yang menyedihkan seperti kematian orang tercinta. Meskipun perubahan hidup yang menyenangkan (positif) maupun yang tidak menyenangkan (negatif) dapat menyebabkan stres, perubahan hidup yang positif mengakibatkan gangguan yang lebih ringan daripada perubahan hidup yang negatif (Thoits, 1983). Atau dapat pula dikatakan, perubahan untuk kehidupan yang lebih baik merupakan perubahan, tapi tidak terlalu mengganggu. Perlu dicatat pula, bahwa tidak mengalami peristiwa apapun (misalnya, tidak mengalami perubahan hidup) juga dapat menimbulkan stres dan berhubungan kuat dengan resiko masalah kesehatan fisik (Theorell, 1992).

Konflik Internal sebagai Salah Satu Sumber Stres
Selain peristiwa yang terjadi di luar diri (konflik-konflik eksternal), stres juga dapat ditimbulkan oleh proses internal yaitu konflik yang tidak terpecahkan yang mungkin disadari atau tidak disadari. Konflik terjadi jika seseorang harus memilih antara tujuan atau tindakan yang tidak sejalan atau bertentangan. Konflik juga dapat terjadi jika dua kebutuhan internal atau dua motif berlawanan. Di dalam masyarakat, konflik yang paling mendalam dan sulit untuk dipecahkan biasanya terjadi di sekitar motif-motif berikut:
1. Kemandirian vs Ketergantungan
Terutama jika dihadapkan pada situasi yang sulit, kita mungkin menginginkan seseorang untuk membantu kita dan memecahkan masalah kita. Tetapi kita diajarkan bahwa kita tetap harus berdiri di atas kaki sendiri dan mengambil tanggung jawab. Di lain waktu, kita mungkin menginginkan kemandirian, tetapi situasi atau orang lain memaksa kita untuk tetap bergantung.

2. Keintiman vs Isolasi
Keinginan untuk dekat dengan orang lain dan berbagi pikiran dan emosi terdalam mungkin bertentangan dengan rasa takut dilukai atau ditolak jika kita menceritakan terlalu banyak tentang diri kita sendiri.

3. Kerja sama vs Persaingan
Masyarakat memberikan tekanan besar pada persaingan dan keberhasilan. Persaingan telah dimulai pada masa anak-anak, di antara kakak-adik, bersambung ke masa sekolah, dan berpuncak di dalam persaingan bisnis dan professional. Pada saat yang sama, kita didesak untuk bekerja sama dan membantu orang lain.

4. Ekspresi Impuls vs Standar Moral
Impuls harus diatur di dalam semua masyarakat. Seks dan agresi adalah dua bidang di mana impuls kita seringkali bertentangan dengan standar moral dan pelanggaran standar tersebut dapat menimbulkan perasaan bersalah.

Reaksi Psikologis terhadap Stres
1. Kecemasan
Orang yang mengalami peristiwa yang di luar rentang penderitaan manusia normal misalnya setelah bencana alam, pemerkosaan, dan penculikan, kadang-kadang mengalami suatu kumpulan gejala berat yang berkaitan dengan kecemasan, yang dikenal sebagai gangguan stres pasca traumatik. Gejala utamanya antara lain perasaan mati rasa terhadap dunia dengan hilangnya minat terhadap aktivitas terdahulu dan merasa tersingkir dari orang lain; menghidupkan kembali trauma secara berulang-ulang dalam kenangan dan mimpi; serta gangguan tidur, sulit berkonsentrasi, dan kesiagaan berlebihan.

2. Kemarahan dan Agresi
Reaksi umum lain terhadap stres ialah kemarahan yang dapat diikuti dengan agresi. Dalam kondisi penuh tekanan, perasaan orang akan menjadi lebih sensitif. Gurauan belakan dapat membuat orang yang sedang stres terpancing emosinya dan bila tidak terkendalikan, maka tindakan agresif sangat mungkin dilakukan.

3. Gangguan Kognitif
Seringkali stres membuat yang bersangkutan sulit berkonsentrasi dan mengorganisasikan pikiran mereka secara logis. Sebagai akibatnya, kemampuan mereka melakukan pekerjaan yang kompleks, cenderung memburuk. Gangguan kognitif ini mungkin berasal dari dua sumber. Tingkat rangsangan emosional yang tinggi dapat mengganggu pengolahan informasi di pikiran. Sehingga semakin cemas, marah, atau terdepresinya kita setelah suatu stresor, semakin besar kemungkinan kita akan mengalami gangguan kognitif. Gangguan kognitif juga dapat terjadi jika pikiran yang mengganggu terus berjalan di otak kita jika kita berhadapan dengan suatu stresor.

Faktor-Faktor Psikologis yang Mengurangi Stres
1. Cara Coping Stres
Penyangkalan merupakan suatu contoh coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) (Lazarus & Folkman, 1984). Pada coping yang berfokus pada emosi, orang berusaha segera mengurangi dampak stresor, dengan menyangkal adanya stresor atau menarik diri dari situasi. Namun, coping yang berfokus pada emosi tidak menghilangkan stresor atau tidak juga membantu individu dalam mengembangkan cara yang lebih baik untuk mengatur stresor. Bentuk lain dari coping yang berfokus pada emosi ialah melamun atau berkhayal yang merupakan bentuk pelarian secara imejiner, bukan bentuk tindakan untuk mengatasi masalah.

Sebaliknya, pada coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping), orang menilai stresor yang mereka hadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stresor atau memodifikasi reaksi mereka untuk meringankan efek dari stresor tersebut. Coping yang berfokus masalah melibatkan strategi untuk menghadapi secara langsung sumber stres misalnya melalui pencarian informasi agar bisa bersikap lebih optimis.

2. Harapan akan Self Efficacy
Harapan akan self efficacy berkenaan dengan harapan kita akan kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang kita hadapi, harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan akan kemampuan diri untuk dapat menghasilkan perubahan hidup yang positif (Bandura, 1986). Kita mungkin dapat mengelola stres dengan lebih baik apabila kita percaya diri dan yakin bahwa kita mampu mengatasi stres atau memiliki harapan yang tinggi. Apabila self efficacy meningkat maka tingkat hormon stres menurun.

Menutup tulisan ini, berikut adalah kesimpulan dari banyak hal yang bisa kita gali dan pelajari dari masalah dan stres…

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang hidup tanpa masalah sama sekali. Meski apa yang dianggap sebagai masalah itu sifatnya relatif. Artinya apa yang menjadi masalah besar bagi si A, mungkin buat si B tidaklah demikian, mungkin buatnya, masalah si A hanyalah kerikil kecil dalam perjalanan hidup setiap manusia. Bahkan, menurut saya, hidup itu sendiri adalah sumber dari segala masalah. Jika kita sudah berani untuk hidup, maka kita juga harus berani menerima konsekuensinya, yaitu menghadapi serangkaian masalah yang berkelanjutan.

Salahkah jika kita mengalami stres karena suatu masalah? Tidak ada yang salah dengan stres. Stres merupakan sinyal alami bahwa kita sedang menuju proses adaptasi terhadap masalah yang tengah dihadapi. Bahkan, masalah dan stres seringkali menjadi motivasi yang besar untuk meraih prestasi yang tinggi. Yang penting, kita harus bisa mengontrol pikiran kita sendiri sehingga stres itu tidak berkepanjangan dan melemahkan potensi-potensi diri yang seharusnya berkembang.

Jadi, jadikan masalah dan stres yang tengah Anda alami sebagai wahana untuk berintrospeksi, saat untuk menghimpun kembali energi-energi dan potensi-potensi yang Anda miliki, dan jadilah pribadi yang lebih baik, yang lebih matang dan dewasa, yang tangguh, hingga akhirnya… Anda akan berterima kasih pada segenap masalah dan stres yang pernah menerpa hidup Anda, karena ia telah memberikan banyak pelajaran berharga dan menjadi sumber motivasi dan inspirasi yang tiada henti…

Sumber:
Atkinson, R.L., Atkinson, R.C, Smith, E.E., Bem, D.J. 2002. Pengantar Psikologi Jilid 2. Batam: Interaksara
Nevid, J.S., Rathus, S.A., Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Senin, 12 April 2010

BERJALAN DI ATAS DURI (PRAHARA HIDUP PELAKU BUNUH DIRI)

Bunuh diri? Suatu fenomena nyata yang entah bagaimana awal mulanya, menjadi begitu populer meramaikan pemberitaan di tanah air. Suatu kejadian yang bisa dibilang langka beberapa tahun silam namun kini menjadi semakin banyak terjadi. Jika mengintip dari pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik, beberapa di antaranya melakukan upaya bunuh diri dengan menenggak racun, sebagian lain dengan menggantung diri dengan seutas tali atau kain atau apapun yang ada di sekitarnya, yang lain dengan mencoba memutus urat nadi tangan, dan beberapa lagi memilih melompat dari atas papan reklame setinggi puluhan meter ataupun terjun bebas dari lantai atas pusat perbelanjaan. Dan mungkin, masih banyak cara lain yang ditempuh guna berupaya mengakhiri hidup. Berikut ini hanyalah sedikit ulasan mengenai bunuh diri dipandang dari ilmu psikologi. Di luar tulisan ini, masih banyak hal bisa dan perlu digali dari fenomena ini. Semoga bermanfaat.

Tak baik buru-buru berpikir bahwa bunuh diri hanya terjadi di negara-negara berkembang atau bahkan negara miskin. Jangan pula begitu cepat menyimpulkan bahwa pelaku bunuh diri selalu berasal dari kalangan miskin dan tak terpelajar. Paparan berikut mungkin bisa merubah pandangan tersebut.

Faktanya, jumlah orang yang melakukan bunuh diri semakin meningkat di berbagai negara maju seiring dengan semakin menanjaknya kesejahteraan hidup dan dengan semakin kompleksnya kehidupan masyarakat. Swedia, Amerika Serikat, Denmark, dan Jepang merupakan contoh dari negara dengan tingkat bunuh diri yang relatif tinggi. Tampaknya, adakalanya kesejahteraan semata tak lagi bisa sepenuhnya memberikan kebahagiaan yang hakiki dan kepuasan hidup bagi seseorang.

Banyak definisi terkait dengan bunuh diri. Semua definisi itu dapat dikerucutkan pada pengertian dasar yaitu upaya menghilangkan nyawa sendiri. Banyak motif dan masalah yang melatarbelakangi seseorang hingga melakukan upaya bunuh diri. Ada yang karena patah hati lantaran putus cinta, masalah pekerjaan dan ekonomi, sakit yang tak kunjung sembuh, dan berbagai masalah lain yang mungkin menimbulkan penurunan harga diri, perasaan tak berguna, perasaan sepi yang teramat sangat, dan berbagai perasaan lain yang mungkin mengacaukan kekuatan mentalnya, merapuhkan jiwanya, dan membuatnya gagal survive.

Supratiknya (1995) mempertegas lagi sebab-sebab yang dapat memancing stres dan berakibat dilakukannya bunuh diri, yaitu depresi, krisis dalam hubungan interpersonal, kegagalan dan devaluasi diri, konflik batin, serta kehilangan makna dan harapan hidup.

Bunuh diri yang dilakukan secara personal, dengan alasan yang personal pula, semakin banyak terjadi pada masa modern. Hal ini mungkin dikarenakan orang merasa lebih bebas dan tidak mau lagi terikat oleh kebiasaan-kebiasaan dan konvensi-konvensi yang ada untuk memecahkan kesulitan hidupnya. Mereka cenderung memilih jalan singkat dengan caranya sendiri yaitu dengan bunuh diri, untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Dapat dikatakan, merupakan bentuk kegagalan seseorang dalam upayanya menyesuaikan diri terhadap tekanan-tekanan sosial dan tuntutan-tuntutan hidup yang mau tidak mau, suka tidak suka, akan terus mengiringi perjalanan hidup manusia.

Bagi mereka yang memiliki kekuatan mental dan kepribadian yang sehat dan utuh, berbagai tekanan dan tuntutan hidup disikapi secara sehat pula. Tekanan dan tuntutan hidup tak lagi dipandangnya sebagai sumber malapetaka semata dan tak pula terus menerus dihindari keberadaannya, namun dipandang sebagai sarana yang dapat mendewasakannya, yang akan mengantarkannya menjadi pribadi yang lebih tangguh di kemudian hari. Pula, menghadapi tekanan dan tuntutan hidup dipilihnya sebagai cara yang paling tepat dibandingkan melarikan diri dari masalah.

Emil Durkheim, sosiolog terkemuka Perancis yang banyak melakukan studi mengenai bunuh diri, merumuskan dan menguraikan tiga tipe bunuh diri yaitu:
Pertama, bunuh diri egoistis. Dalam bunuh diri ini, pelaku tidak mampu masuk dan membaur dengan lingkungan. Ia selalu menempatkan dirinya di atas yang lain dan tidak memperhatikan kebutuhan orang lain. Apabila ia mengalami krisis, ia tidak akan menerima bantuan moral dari kelompoknya karena ia tidak dapat membangun relasi yang baik dengan kelompoknya. Keadaan ini membuatnya tersudut dan melakukan tindakan bunuh diri.

Kedua, bunuh diri altruistis. Pelaku bunuh diri tipe ini sedemikian menyatunya dengan nilai-nilai kelompoknya sehingga ia merasa kehilangan identitas pribadinya ketika ia berada di luar kelompoknya.

Ketiga, bunuh diri anomis. Pelaku bunuh diri tipe ini merasa kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya. Nilai-nilai yang dahulu bisa memberikan semangat dan makna dalam hidupnya sekarang telah kehilangan kontrol atas dirinya.

Banyak faktor berpengaruh pada terjadinya bunuh diri. Pribadi yang tidak kawin dan bercerai, ditemukan tiga kali lebih banyak melakukan bunuh diri daripada mereka yang kawin dan tidak bercerai. Namun, ini nampaknya perlu dianalisis lebih luas lagi. Intinya, mereka yang hidup sendiri, yang cenderung terisolasi, yang tidak memiliki relasi yang dekat dan hangat, tak mesti karena tidak menikah, cenderung berpotensi melakukan bunuh diri ketika mereka dihadapkan pada masalah yang berat. Hal ini dapat dimengerti mengingat mereka mungkin kurang mendapat dukungan sosial dari lingkungannya.

Faktor-faktor yang diduga memberikan kontribusi besar pada terjadinya bunuh diri mencakup faktor sosiologis, faktor ekonomi, faktor politik, faktor pendidikan, dan faktor spiritual. Faktor sosiologis dapat berupa perubahan sosial yang terlalu cepat sehingga menimbulkan disintegrasi pribadi anggota masyarakat, masa-masa krisis, dan erosi norma-norma dan nilai-nilai.

Faktor ekonomi, tak dapat dipungkiri merupakan faktor penting hampir dalam segala hal bidang kehidupan. Ekonomi yang tak mendukung seringkali menimbulkan depresi apalagi bagi mereka yang harus menghidupi keluarga dan tinggal di perkotaan di mana hampir segala hal dinilai dengan rupiah.

Faktor pendidikan pun memberikan sumbangsih pada kasus bunuh diri. Satu sisi, kurangnya pendidikan yang berimbas pada kurangnya pengetahuan dan ketrampilan akan strategi pemecahan masalah dan kurangnya softskill yang berakibat menurunkan daya saing di dunia kerja, berakibat pada kondisi ekonomi yang kurang layak, sehingga orang lebih rentan untuk nekat melakukan bunuh diri sebagai jawaban atas masalah yang dihadapi. Tapi di sisi lain, di negara-negara Barat yang semakin maju, banyak pelaku bunuh diri justru berasal dari kalangan dengan pendidikan tinggi, dengan profesi yang bergengsi, dibandingkan dengan rakyat jelata. Ironis, tapi dapat dipahami. Semakin tinggi dan semakin baik tingkat pendidikan dan pekerjaan yang digeluti, identik dengan semakin tinggi pula beban mental dan moral yang harus dipanggulnya. Begitupun dengan masalah yang harus dihadapi. Ibarat kata, makin tinggi pohon, makin kencang angin bertiup.

Faktor spiritual diyakini pula sebagai faktor yang menentukan apakah bunuh diri akan dilakukan atau tidak. Umum dikatakan bahwa dengan tingkat pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai religiusitas, maka angka bunuh diri besar harapan akan menurun. Namun, adakalanya wawasan sempit terkait dengan religiusitas, justru memperbesar kemungkinan terjadinya bunuh diri. Individu berwawasan sempit akan lebih sering dikejar-kejar perasaan bersalah yang luar biasa bahkan pada kekeliruan-kekeliruan kecil yang sebenarnya bersifat manusiawi dan dapat diperbaiki di masa mendatang.

Seiring dengan banyaknya faktor yang mendasari terjadinya bunuh diri, tentunya banyak pula yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya bunuh diri ini. Membangun pondasi mental yang kuat dan membangun kepribadian yang kuat, terintegrasi, dan adaptif, tentunya menjadi yang paling utama. Mulai dari dasar, keluarga melalui pendidikan informalnya dan pola asuh yang diterapkannya, seyogyanya membantu menyediakan situasi yang mendukung untuk perkembangan mental yang sehat bagi anak-anaknya. Bersama-sama dengan pendidikan formal di institusi pendidikan di luar rumah dan masyarakat sekitar, turut serta membekali anak dengan berbagai strategi coping dan cara-cara adaptasi yang normatif. Dukungan sosial yang cukup juga perlu diberikan terutama ketika individu sedang manghadapi masalah agar ia tak merasa sendirian dan agar ia memiliki teman untuk berbagi dan mendapatkan masukan terkait dengan solusi yang tepat sehingga ia tidak memilih bunuh diri sebagai jalan pintas.

Mengingat membahas kasus bunuh diri merupakan pekerjaan yang kompleks dan harus dilakukan secara hati-hati dan teliti, tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari banyak hal yang harus dipelajari agar diperoleh gambaran dan pemahaman yang menyeluruh dan mendalam. Setiap kasus bunuh diri, setiap pelaku bunuh diri, tidak bisa dipandang secara sama. Terlalu banyak hal-hal dalam kehidupan individu yang berbeda-beda satu sama lain yang mungkin mendorong terjadinya bunuh diri.


Kamis, 18 Maret 2010

KETIKA DUNIA MAYA MERAJAI PERADABAN

Beberapa tahun belakangan, terutama sejak tahun 2000 an, perkembangan teknologi terutama di bidang teknologi informasi berlangsung dengan sangat pesat. Di tangan para pakar teknologi, munculah fasilitas internet yang dapat diakses oleh segala kalangan masyarakat mulai dari tua, muda hingga anak-anak. Begitupun dengan kalangan sosial ekonomi, dari kalangan atas hingga menengah ke bawah dapat dengan mudah menggunakan fasilitas ini ditambah dengan menjamurnya bisnis warnet yang murah meriah.

Dengan perkembangan teknologi informasi ini, internet, dapat mempermudah urusan semua manusia di seluruh belahan dunia. Tak perlu lagi membeli buku yang harganya puluhan bahkan ratusan ribu untuk mendapatkan informasi. Cukup dengan membuka internet dan mengetik kata kunci, informasi dengan cepat tersedia begitupun yang terkait dengan ilmu pengetahuan.
Kemudian muncul pula trend chatting melalui jejaring sosial Friendster yang terutama menjadi candu bagi para remaja. Bahkan beberapa remaja mengatakan tak gaul jika tak chattingan. Semua orang dari semua tempat di dunia ini dapat saling menjalin interaksi melalui trend chatting ini. Trend ini semakin didukung dengan promo dari berbagai provider yang memberikan layanan murah meriah untuk chatting maupun internetan melalui handphone.

Lebih muda dari Friendster, Facebook memulai debutnya di dunia jejaring sosial. Jejearing sosial ini menjadi semakin popular setelah presiden Amerika terpilih, Barack Obama, melakukan kampanyenya melalui jejaring ini. Tak ayal, sebagian besar masyarakat ini pun kemudian ikut terbawa dalam trend facebook. Bahkan, di Indonesia, para politikus juga ikut menggunakan facebook untuk kampanye parpolnya guna meraup simpati jelang pemilihan umum. Maklum saja, begitu banyak masyarakat terutama dari kalangan anak muda yang notabene adalah para pemilih muda dalam pemilu yang akan diselenggerakan, yang bergabung dengan jejaring ini.

Setelah facebook muncul pula Twitter yang juga semakin digemari orang. Itulah sedikit fenomena yang terjadi terutama di Indonesia. Bahkan di salah satu liputan berita di televisi nasional,Indonesia menempati posisi ke dua setelah Amerika dalam hal jumlah pengguna situs jejaring facebook. Waow…ini pasti sangat luar biasa. Meski dalam bidang teknologi, pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi Indonesia belum bisa dibandingkan dengan negara adidaya sebesar Amerika, tapi dalam hal pengguna Facebook, Indonesia bisa duduk di tangga dekat Amerika.

Tak bisa dipungkiri, jejaring sosial seperti ini memang memberikan banyak manfaat di antaranya menjalin kembali komunikasi dengan teman-teman yang tersebar di berbagai belahan dunia. Bukankah menjalin tali silahturahmi merupakan hal yang positif? Selain itu banyak pula generasi muda yang kreatif yang menggunakan Facebook ini sebagai sarana promo barang-barang dagangan. Maklum saja, promo melalui Facebook memang sangat menguntungkan mengingat situs ini dapat diakses gratis, memiliki begitu banyak pengunjung, dan yang pasti sedang menjadi trend.

Tapi sayang seribu sayang, kepopuleran berbagai situs jejaring sosial ini ternyata juga diikuti dengan serentetan dampak negatif yang dialami para penggunanya terutama pada mereka yang belum dapat menyikapi kemajuan teknologi informasi ini dengan bijak. Apalagi dengan jumlah pengguna di Indonesia yang sangat banyak, ini artinya dampak-dampak negatif juga sangat mungkin meminta korban yang lebih banyak pula.

Beberapa berita di televisi belakangan ini sibuk mewartakan berbagai kasus kriminal terkait dengan penyalahgunaan situs jejaring sosial. Mulai dari membawa lari gadis di bawah umur hingga prostitusi remaja. Bahkan, empat orang murid sampai dikeluarkan dari sekolahnya karena memaki-maki gurunya dengan kata-kata kotor yang tak pantas melalui situs pertemanan ini. Pada kasus yang lain, seorang remaja putra menyebarkan foto-foto tak senonoh mantan pacarnya di Facebook karena tak terima setelah diputus.

Namun, pada lain situasi, Facebook telah menjadi sarana pengumpul koin-koin peduli Prita yang banyak menarik perhatian masyarakat hingga terkumpulah koin lebih dari setengah milyar untuk keadilan. Demikian juga dalam kasus Bilqis, bocah yang mengidap kelainan hati. Facebook tak dipungkiri telah membantu banyak orang yang membutuhkan melalui galangan simpati masyarakat dengan cepat.

Di lain pihak, beberapa ulama telah memfatwakan haram untuk facebook. Fatwa ini dapat dimengerti mengingat dampak buruk yang dapat ditimbulkannya. Tetapi, apakah ini adalah solusi yang tepat jika masih banyak pula manfaat yang bisa diambil dari situs pertemanan ini? Jangan sampai, alih-alih mencegah dampak buruk dari situs jejaring sosial, malah akan menghambat kemajuan teknologi dan membatasi kreativitas para remaja. Biar bagaimanapun, segala sesuatu, apalagi yang dibuat manusia, pasti memiliki dampak positif sekaligus dampak negatif. Ini seperti dua sisi mata uang logam yang tidak mungkin dipisahkan. Yang terpenting adalah bagaimana menghandle kedua dampak ini secara bersamaan.

Beranjak dari semua fenomena itulah, perlu direnungkan kembali solusi yang lebih bijak untuk meredam dampak negatif dari situs jejaring sosial tanpa harus mengkebiri kemajuan teknologi informasi. Kendati teknologi sudah mampu menyediakan berbagai kebutuhan, para remaja khususnya, sebagai pengguna terbanyak situs jejaring soial, tetap saja memerlukan pendampingan dari orang dewasa yang bijak. Kondisi psikologis remaja yang relatif labil dan mudah terpengaruh hal-hal negatif dari pergaulan, memudahkan mereka terjebak dalam sisi buruk dunia maya.

Para orang tua ataupun para orang dewasa hendaknya tidak menutup mata dan telinga dengan kemajuan teknologi dan membiarkan begitu saja putra dan putrinya berselancar begitu bebas di dunia maya. Sudah saatnya para orang tua dan orang dewasa lainnya turut mengamati dan mengikuti perkembangan teknologi agar dapat lebih waspada dengan bahaya yang timbul yang mungkin belum dimengerti oleh anak-anak maupun remaja.

Menyangkut prostitusi remaja melalui situs jejaring sosial, ini bukanlah semata-mata kesalahan situs jejaring sosial tersebut maupun para penggunanya. Dalam kasus ini nampak bahwa para remaja ini belum matang secara psikologis sehingga tidak dapat mengintegrasikan perilakunya agar sesuai dengan norma sosial, norma hukum, dan norma agama. Penting bagi para orang tua maupun orang dewasa yang bertanggungjawab atas para remaja baik yang telah diketahui sebagai pelaku prostitusi maupun yang terlihat masih baik-baik saja, untuk menanamkan pemahaman mengenai makna hidup yang tidak hanya dinilai dari gelimang materi dan trend pergaulan bebas, namun lebih pada kualitas pribadi seseorang.

Orang tua juga perlu memposisikan dirinya sebagai teman diskusi bagi anak-anak mereka yang masih remaja ini karena para remaja ini sedang mengalami masa transisi dari masa anak-anaknya ke masa dewasa dan juga sedang melakukan pencarian jati diri. Dalam proses transisi ini, remaja kerap menemukan norma yang diajarkan dalam keluarga selama masa anak-anak mereka mungkin tidak selamanya sesuai dengan kenyataan maupun berbeda total dengan norma yang dianut rekan-rekan dalam komunitasnya. Padahal, pada masa ini pula, remaja cenderung lebih lekat pada teman-teman sebayanya daripada dengan keluarga. Apalagi jika para remaja menilai keluarganya terutama orang tua sebagai orang tua yang kolot yang tak mampu dan tak mau memahami mereka. Oleh karenanya, penting untuk bisa menjadi teman diskusi bagi anak yang sedang menikmati masa remajanya.

Dengan memposisikan diri sebagai teman diskusi, para remaja ini akan lebih nyaman dalam mengeluarkan keluh kesahnya dan dalam mencari jawaban atas keingintahuan dan rasa ingin mencoba yang begitu besar dalam diri mereka, sehingga mereka tidak melakukan ‘coba-coba’ di luar maupun menjadi bahan ‘percobaan’ orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang bisa mengekploitasi keremajaan mereka terutama secara seksual.

Dengan memberikan pendampingan yang maksimal dan demokratis, bukan sikap otoriter yang begitu membatasi ruang gerak anak maupun sikap permisif yang membolehkan semua yang anak mau, diharapkan para remaja ini akan memiliki pemahaman yang cukup dan benteng moral spiritual yang kokoh sebagai bekal menghadapi berbagai fenomena dalam kehidupan yang seringkali begitu menggoda iman dengan tawaran kesenangan duniawi yang menggiurkan.

(Tulisan ini pernah dikirimkan di Harian Kompas tapi sudah dikonfirmasi tidak dimuat sehingga penulis terbitkan di blog penulis)

Selasa, 26 Januari 2010

PRESENTASI?? SIAPA TAKUT?

Suka grogi kalau harus presentasi di depan kelas atau forum apapun? Bahkan sampai ngomongnya kacau? Keringat dingin? Hampir semua orang yang baru pertama kali presentasi atau berbicara di depan akan merasa seperti itu. Apalagi jika di depan orang-orang yang belum dikenal, belum siap materi, atau juga di depan orang-orang yang lebih senior. Ya, kalau sesekali sih tidak mengapa, wajar. Tapi kalau terus-terusan, bisa menghambat prestasi dan penghambatan diri, kan? Berikut ini beberapa tips yang dapat kamu coba untuk mengatasi masalahmu…Selamat mencoba!!

1. Siapkan materi
Ini wajib hukumnya. Susah kan, kalau harus presentasi tapi materinya belum siap bahkan tidak tahu sama sekali? Yah, minimal baca-baca sedikitlah. Syukur, bisa cari referensi-referensi lain yang relevan. Biar waktu presentasi bisa cas-cis-cus.

2. Rajin update info
Kalau yang ini bagusnya dilakukan tiap saat. Infonya bisa tentang apa saja. Apalagi sekarang akses media mulai media masa, buku, media elektronik sudah sangat mudah, pergaulan juga penting. Info apapun mudah didapat. Ini penting agar pengetahuan kita luas. Jadi, kalau sewaktu-waktu harus presentasi atau jadi pembicara mendadak tanpa tahu materinya terlebih dahulu, kita masih bisa tampil berbekal pengetahuan yang kita punya.

3. Tidur yang cukup
Tidak bisa dibenarkan, kalau dengan alasan besok presentasi lalu latihan mati-matian semalam suntuk agar besok lancar. Mana bisa belajar presentasi yang bagus hanya dalam waktu semalam. Ingat, semua butuh proses. Jadi, sisakan waktu untuk tidur yang cukup karena kurang tidur justru akan meningkatkan kecemasan dan depresi di esok hari. Bisa-bisa, presentasi jadi berantakan karena ngantuk dan tidak fokus.


4. Jangan lupa makan
Sederhana, tapi sering dilupakan orang. Perasaan nervous memang sering membuat tidak nafsu makan. Tapi, paling tidak makanlah beberapa sendok untuk mengisi perut. Ini penting untuk stamina. Untuk suplai energi ke otak. Tidak mungkin dapat presentasi dengan baik kalau kinerja otak menurun.

5. Berpakaian rapi dan nyaman
Pakaian yang rapi, bersih, dan sopan sesuai dengan situasi forum atau kelas, akan meningkatkan karisma kita di depan orang lain. Kita juga akan merasa lebih percaya diri karenanya. Faktor kenyamanan juga penting diperhatikan. Kalau kita merasa nyaman, dengan sendirinya orang lain juga akan nyaman melihat kita. Pakaian yang rapi dan nyaman akan meningkatkan face validity kita. Dari luar, orang lain akan menilai kita sebagai orang yang berkompeten.

6. Optimis dan ketenangan
Yakinkan diri kita sendiri bahwa ketika mampu menguasai forum atau kelas. Tanamkan dalam kepala kita, bahwa hanya butuh sedikit ketenangan dan semuanya akan berjalan dengan baik-baik saja. Kalau orang lain bisa melakukannya kenapa kita tidak? Kita tidak lebih buruk dari mereka, bahkan mungkin kita bisa tampil lebih baik dari pembicara-pembicara handal sekalipun.

7. Tarik nafas
Kalau rasa nervous sudah kembali menyerang, coba tarik nafas dalam-dalam dan hembuskan pelan-pelan. Lakukan satu atau dua kali sebelum berbicara untuk mendapatkan kembali ketenangan kita.

8. Tatap matanya
Jangan menghilangkan rasa nervous dengan menghindari tatapan mata lawan bicara. Itu justru akan membuat kita semakin grogi. Kita akan merasa mereka benar-benar sedang menilai kita, padahal kenyataan mungkin tidak demikian. Beranikan menatap mata lawan bicara satu persatu. Tak usah dipelototi, cukup sekilas saja tapi mengena benar pada matanya.

9. Berkutat pada catatan? NO
Kuasai poin-poin penting dari materi yang telah kita siapkan. Jangan terus menerus berkutat pada catatan yang kita bawa. Gunakan media seperti LCD atau OHP hanya sebagai media bantu untuk memudahkan audiens memahami materi. Hindari presentasi seperti orang membaca buku. Kembangkan poin-poin penting dengan bahasa kita sendiri.

10. Berdoa
Kalau semua sudah dipersiapkan, jangan lupa berdoa. Biar bagaimanapun, hanya dengan kuasa Tuhan, semua dapat berjalan lancar.




MENGGAPAI KASIH SEORANG IBU

JUST FOR MY MOM

Ibu, lihatlah kabut itu
Sejuk, lembut seperti kasihmu
Ibu, lihatlah senja itu
Anggun seperti aku mengenalmu
Ibu, jika waktu bisa membawamu padaku
Adakah kau mau kembali
Ibu, apakah surga lebih indah dari dunia
Hingga kau lebih suka di sana
Ibu, aku merindukanmu
Terlalu lama kau meninggalkanku
Ibu, kata orang
Surga ada di telapak kaki ibu
Jika ibu pergi terlalu jauh
Lalu di mana kudapatkan surga itu

Sajak di atas adalah sedikit penggambaran mengenai sosok ibu. Kurang lebih seperti itulah sosok ibu yang sempat saya kenal. Mungkin beberapa orang menganggapnya terlalu berlebihan jika kasih ibu diperumpamakan seperti kabut yang lembut dan seperti senja yang anggun karena mungkin beberapa orang di luar sana juga pernah mengalami hubungan yang kurang baik dengan ibu mereka.

Beberapa berita di media masa baik elektronik maupun cetak akhir-akhir ini juga banyak memuat berita yang mengabarkan adanya para ibu yang tega menelantarkan anak kandungnya, melakukan penyiksaan fisik maupun psikis, bahkan membunuh anaknya sendiri yang ia lahirkan dari rahimnya. Tak terbayangkan memang, bagaimana perasaan seorang anak jika ia telah tumbuh dewasa dan kemudian ia mengetahui bahwa ia pernah menjadi bulan-bulanan agresivitas ibu kandungnya pada masa-masa di mana ia seharusnya ada dalam buaian kasih sayang yang tulus dam memberikan kenyamanan serta rasa aman baginya yang masih belum berdaya.

Sakit hati, amarah, dan dendam mungkin ialah rasa yang bergelayut dalam hati anak itu. Tapi mungkin, ada pula yang dengan kedewasaannya, kemudian berusaha untuk memahami situasinya dan memilih untuk tidak mendendam karena pada kenyataannya di luar sana banyak pula ibu-ibu yang berjuang hidup mati demi anak-anaknya. Sungguh bijaksananya jika ia dapat berpikir seperti demikian. Namun, bukan berarti bahwa mereka yang kemudian membenci dan mendendam juga patut begitu saja disalahkan karena pengalaman dan kenyataan mengajarkannya untuk menjadi demikian.

Tengoklah pada ibu-ibu penyapu jalan yang rela bermandikan keringat dan berbedak debu dan asap tebal saban harinya demi anak-anaknya, demi perut-perut kecil yang minta diisi dan telah menanti di rumah. Bahkan, dari sebuah buku yang baru saya beli dan bahkan belum seluruhnya saya baca, dikisahkan bagaimana seorang ibu rela bekerja sebagai seorang PSK hanya demi harapan ia dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi sehingga mereka dapat bekerja di tempat yang lebih baik dari ibunya, istilahnya agar anak-anaknya ‘jadi orang’.

Salah memang cara yang dilakukan ibu itu. Tapi cobalah lihat dari sisi lain, bagaimana ia mengorbankan harga dirinya demi menjadi sosok ibu yang ‘bisa dibanggakan’ oleh anak-anaknya meski mungkin anak-anaknya tak akan pernah berbangga hati bahkan mungkin akan membencinya seumur hidup jika tahu bahwa ibunya seorang PSK.



“Kasih sayang seorang ibu seperti halnya matahari. Tak sepanjang waktu ia berjaga demi orang-orang yang selalu mengharapkannya dan menjadikan dunia sepenuhnya siang yang terang. Tapi adakalanya pula ia bersembunyi di balik pekatnya langit malam dan enggan membagi sinarnya untuk semesta, memilih mengenggam sinarnya hanya untuknya seorang. Kasih sayang ibu selayaknya matahari, ada saatnya ia terbit, ada kalanya pula ia tenggelam, untuk terbit di kembali di keesokan harinya. Kasih sayang seorang ibu bagai perjalanan sekuntum bunga. Ia bermula dari kuncup kecil yang membesar seiring waktu. Hingga tepat saatnya, kuncup mungil itu akan mekar sebagai bunga yang indah, memberikan kedamaian dan kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya. Tapi, seiring waktu yang terus bergulir, mungkin kau akan melihatnya layu dan mati. Tanpa ada yang tersisa, hanya meninggalkan kenangan atau mungkin tak pernah benar-benar ingin kau kenang dan kau pilih untuk melupakannya.”


Sedikit tulisan ini saya persembahkan untuk seorang wanita yang sangat berarti dalam kehidupan saya yang telah pergi terlalu cepat…

Selasa, 05 Januari 2010

SAAT KESEDIHAN MELANDA…

Anda pernah bersedih? Rasanya, hampir semua orang yang hidup di dunia ini pasti pernah merasakan yang namanya kesedihan. Kesedihan selalu menjadi bumbu dalam perjalanan panjang setiap orang. Walaupun kesedihan yang dialami setiap orang bisa memiliki berbagai macam variasi baik dalam masalahnya maupun derajat kepedihan yang dirasakannya, semua orang pasti pernah merasakannya.

Sedikit mengutip lagu dari sebuah band ternama, “Mengapa ada luka bila bahagia tercipta. Mengapa ada hitam bila putih menyenangkan.” Mungkin begitulah orang sering bertanya-tanya, mengapa harus ada kesedihan jika di dunia pun ada kebahagiaan yang terasa lebih menyenangkan. Tapi itulah hidup. Seorang wanita tidak akan terlihat cantik jika tidak ada wanita-wanita lain yang kurang sempurna parasnya. Sesuatu yang wangi dikatakan lebih baik karena ada yang tidak wangi.

Artinya, kebahagiaan hanya bisa dirasakan sebagai kebahagiaan yang menyenangkan jika ada kepedihan yang mengiris hati. Lebih jauh lagi, yang menjadikan hidup menjadi berwarna dan punya makna adalah karena adanya hal-hal yang lain sebagai sesuatu yang dapat diperbandingkan sekaligus dapat saling melengkapi. Menjadi tidak terlalu penting untuk terus-menerus berkutat dengan masalah yang menimbulkan kesedihan itu. Yang lebih penting ialah bagaimana mengatasinya agar kesedihan itu tidak terus berlarut-larut dan mengacaukan semua hal positif yang harusnya kita miliki.

Melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan, “Janganlah bersedih karena kesedihan. Karena kesedihan adalah hal yang wajar yang akan selalu menemani sepanjang hidup kita. Selama kita masih punya hati dan perasaan, adalah wajar jika kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti. Jadi, berdamailah dengan kesedihan yang kita rasakan. Sekali waktu, cobalah untuk berbahagia dengan kesedihan. Karena kesedihan akan terasa sangat menyakitkan tetapi juga akan membuat kita menjadi lebih kuat dan tangguh ketika kita mampu menghadapinya."

DON’T EVER TELL

RESENSI BUKU

Judul : Don’t Ever Tell
Penulis : Kathy O’Beirne
Penerbit : Esensi
Penerjemah: Ariavita P.
Terbit : 2007
Tebal : 352 halaman

Buku ini mengisahkan sebuah kisah nyata dari perjalanan hidup seorang bocah perempuan berumur delapan tahun yang masa kecilnya diwarnai dengan kekerasan oleh ayah kandungnya dan kemudian ia diserahkan oleh keluarganya kepada sebuah lembaga yang dikelola oleh gereja dan pemerintah Irlandia. Ia dikirim ke rumah Tuhan untuk dibina. Namun, yang terjadi kemudian bukannya dibina, ia justru dipukul, dianiaya, dan diperlakukan secara tidak manusiawi di lembaga tersebut. Di tempat yang seharusnya mengajarkan kasih dan yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai tempat yang suci, bocah itu justru diperdaya, dilecehkan, dan dikhianati.

Ketika ia mencoba berbicara tentang perlakuan yang diterimanya di intitusi tersebut, ia malah dikirimkan ke rumah sakit jiwa, dijadikan kelinci percobaan, dijejali obat-obatan yang memperburuk kondisinya, dan diberi terapi kejut tanpa penahan sakit. Ia bahkan dikirimkan ke sebuah institusi yang mempekerjakan anak-anak dan wanita seperti budak, yang juga terlibat dalam pelecehan dan praktik prostitusi terselubung. Buku ini adalah upayanya untuk mencari keadilan atas tindakan tak manusiawi yang diterimanya selama ini.

Dari apa yang diceritakan dalam buku ini, terlihat nyata bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidaklah baru sekarang ada seperti yang marak di berbagai pemberitaan media massa akhir-akhir ini. Lebih parah lagi, tindak kekerasan semacam itu masih dilestarikan bahkan di institusi yang semestinya menjadi tempat yang dapat diandalkan untuk pendidikan anak-anak. Tengoklah kisah yang ditulis dalam buku ini. Bagaimana seorang ayah begitu mendominasi di keluarga. Sebenarnya dominasi peran tidaklah salah. Yang salah ialah ketika seorang ayah atau bahkan siapapun, menggunakan peran dan kekuasaannya untuk menteror dan menindas orang-orang yang lebih lemah darinya, orang-orang yang berada dalam naungannya.

Tindak kekerasan yang diterima oleh tokoh utama dalam kisah ini tentu saja tidak hanya menimbulkan ketakutan dan kesakitan baik fisik maupun psikis untuk sementara waktu tetapi juga trauma yang luar biasa sepanjang hidupnya. Trauma yang jika tidak dikelola dan ditangani dengan baik akan menjadi mata rantai tak terputus dari tindak-tindak kekerasan yang lain. Karena trauma semacam ini, yang dialami oleh seseorang, akan dapat menimbulkan dendam pada diri orang tersebut sehingga jika kelak ia bertemu dengan orang yang lebih lemah darinya, dendam karena trauma masa lalu ini akan muncul dalam bentuk penindasan pada orang lain.

Kalau pun tidak demikian, trauma itu akan merenggut kesehatan mental korbannya. Bukan tidak mungkin, mereka akan tinggal di rumah sakit jiwa sebagai seorang pesakitan seumur hidupnya. Kalau pun kemudian, korban kekerasan ini dapat menampilkan dirinya seakan-akan baik-baik saja di depan umum, tentu tetap tidak dapat dibenarkan merenggut hak kebahagiaan dan hak kebebasan dari penderitaan yang dimiliki setiap orang dengan jalan melakukan penganiayaan. Satu dari banyak pesan moral yang dapat diambil dari kisah ini, apapun yang terjadi, berbagi kasih dan menghormati kehidupan orang lain ialah mutlak diperlukan. Hanya dengan itulah, rantai kekerasan diharapkan dapat diputuskan.




DARI HOMOSEKSUAL HINGGA HETEROSEKSUAL

RESENSI BUKU

Judul : Perempuan Semusim
Penulis : Amitri Dinar Sari
Penerbit : Ruas
Terbit : Desember, 2005
Tebal : 233 halaman


Buku yang berjudul lengkap “Perempuan Semusim (Kisah Nyata Metamorfosa Lesbian ke Heteroseksual) ini mengkisahkan kisah nyata dua orang perempuan yang saling mencintai. Percintaan sesama jenis ini pun dihadang dilema. Mana yang harus dipilih, cinta atau kehidupan pada umumnya? Haruskah jalan yang selalu dipilih oleh para pecinta sesama jenis adalah lari dari kenyataan hakiki dirinya dan memilih melepaskan hak hidupnya? Apakah ancaman palu godam sanksi sosial berupa tekanan, ejekan, dan pengucilan oleh masyarakat akan menakutkan dan mampu membuat para pecinta sejenis ini memilih memasuki kehidupan pada umumnya?

Buku karya Amitri Dinar Sari ini sangat menarik untuk dibaca karena buku ini berani menceritakan kisah nyata kehidupan cinta kaum lesbian di mana kisah lesbian masih jarang diungkap secara terang-terangan di Indonesia. Homoseksual masih seringkali dianggap sebagai sesuatu yang tabu, sesuatu yang dipungkiri keberadaannya, dan tak patut diperbincangkan di depan publik. Buku ini menceritakan sulitnya seorang lesbian mengungkapkan jati dirinya kepada masyarakat dan keluarganya dan konflik-konflik yang terjadi akibat pilihannya menjadi pecinta sesama jenis.

Ketakutan akan sanksi-sanksi sosial yang akan diterimanya jika identitasnya terkuak dan ketakutan jika keluarganya tidak bisa menerima orientasi seksualnya membuat kaum lesbian ini berpikir ulang mengenai jalan hidupnya. Entah karena kesadaran yang sepenuhnya dan jalan takdir atau hanya keterpaksaan semata, hingga seorang lesbian ini memilih untuk mencintai laki-laki saja. Jika metamorfosa ini hanya keterpaksaan semata, berarti tinggal menunggu waktu saja. Jika ada kesempatan dan jika masyarakat mulai bisa menoleransi, membuka ruang untuk kaum pecinta sesama jenis, dengan sangat mudahnya ia akan kembali menjadi seorang lesbian.

Tokoh utama dalam buku ini, kendati pada akhirnya memilih untuk membina hubungan dengan seorang laki-laki, toh pada kenyataannya, mantan kekasih sesama jenisnya tetap mengisi satu ruang di hatinya. Ruang yang tak bisa diganti oleh lelaki manapun. Sayangnya, buku ini masih belum menceritakan kisah lesbian ini secara mendalam. Buku ini hanya mengupas sisi kecil dari perjalanan hidup seorang lesbian, seakan-akan hanya permukaannya saja. Alangkah lebih menarik lagi bila buku ini menyajikan kisah secara mendalam berikut segala konfliknya.

Namun demikian, buku ini tetap menarik untuk dibaca karena banyak pelajaran hidup yang dapat diambil dari kisah ini. Apalagi bagi Anda yang bergerak di bidang psikologi atau sosiologi. Kisah dalam buku ini memang bertaut erat antara realitas yang ada di masyarakat dan kondisi psikis para pelakunya. Kisah ini bisa mengajari kita untuk lebih arif dalam menyikapi perbedaan-perbedaan dalam pilihan hidup orang lain. Realita homoseksual memang sering disikapi dengan banyak cara. Kendati para pecinta sesama jenis ialah kaum minoritas, menghujat mereka pun bukan solusi yang baik. Kisah dalam buku ini mungkin bisa menambah pemahaman para pembacanya akan kehidupan homoseksual. Bukan masalah setuju atau tidak setuju, tetapi sebatas memahami dan sebisa mungkin menghargai pilihan hidup masing-masing.

LARUT SEJENAK DALAM KISAH SEORANG GEISHA

RESENSI BUKU

Judul : Memoirs of a Geisha (Memoar Seorang Geisha)
Penulis : Arthur Golden
Penerjemah : Listiana Srisanti
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Januari, 2002
Tebal : 490 halaman


Memoar Seorang Geisha mengajak kita memasuki dunia geisha yang penuh rahasia, dunia di mana penampilan sangatlah penting, di mana keperawanan seorang gadis dilelang kepada penawar yang paling tinggi, di mana perempuan-perempuan dilatih untuk memikat laki-laki yang paling berkuasa, dan di mana cinta dicemooh sebagai ilusi belaka.

Buku ini menceritakan perjalanan hidup sang tokoh utamanya, Sayuri. Kisah Sayuri bermula di desa nelayan miskin pada tahun 1929, ketika sebagai anak perempuan berusia sembilan tahun dengan mata biru-kelabu yang luar biasa, dijual ke sebuah rumah geisha terkenal. Tidak tahan dengan kehidupan di rumah itu, ia mencoba melarikan diri. Tindakan itu membuatnya terancam menjadi pelayan seumur hidup. Saat meratapi nasibnya di tepi Sungai Shirakawa, ia bertemu Iwamura Ken. Di luar kebiasaan, pria terhormat ini mendekati dan menghiburnya. Saat itu, Sayuri bertekad akan menjadi geisha, hanya demi mendapat kesempatan bisa bertemu lagi dengan pria itu, suatu hari nanti.

Melalui Sayuri, kita menyaksikan suka duka wanita yang mempelajari seni geisha yang berat, menari dan menyanyi, memakai kimono, make up tebal, dan dandanan rambut yang rumit, menuang sake dengan cara yang sesensual mungkin, bersaing dengan sesama geisha memperebutkan pria-pria dan kekayaan mereka. Namun, ketika Perang Dunia II meletus dan rumah-rumah geisha terpaksa ditutup, Sayuri, dengan sedikit uang dan lebih sedikit lagi makanan, harus mulai lagi dari awal untuk menemukan kebebasan yang langka dengan cara-caranya sendiri.

Kisah nyata yang ditulis dalam buku ini memang sangat mengharukan. Berbalut setting kehidupan di Jepang pada masa tersebut, buku ini mampu mengantarkan para pembacanya menyelami kehidupan geisha pada masa itu. Detail-detail peristiwa dan suasana diceritakan dan digambarkan dengan sangat baik dalam buku ini. Ini mungkin hanya salah satu kisah seorang geisha dari geisha-geisha yang lain yang memiliki jalan cerita hidupnya sendiri-sendiri.

Namun, kisah Sayuri cukup memberikan pelajaran yang berharga mengenai kehidupan, bagaimana sulitnya hidup ketika dihadapkan pada berbagai kesulitan ekonomi, budaya pada masa itu, perjuangan mencari cinta sejati, bahkan kekacauan ketika Perang Dunia II, perang besar yang melegenda, terjadi. Jika Anda punya cukup waktu luang, tidak ada salahnya buku ini menjadi alternatif pilihan untuk Anda baca dan menjadi koleksi di perpustakaan pribadi Anda.