Senin, 12 April 2010

BERJALAN DI ATAS DURI (PRAHARA HIDUP PELAKU BUNUH DIRI)

Bunuh diri? Suatu fenomena nyata yang entah bagaimana awal mulanya, menjadi begitu populer meramaikan pemberitaan di tanah air. Suatu kejadian yang bisa dibilang langka beberapa tahun silam namun kini menjadi semakin banyak terjadi. Jika mengintip dari pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik, beberapa di antaranya melakukan upaya bunuh diri dengan menenggak racun, sebagian lain dengan menggantung diri dengan seutas tali atau kain atau apapun yang ada di sekitarnya, yang lain dengan mencoba memutus urat nadi tangan, dan beberapa lagi memilih melompat dari atas papan reklame setinggi puluhan meter ataupun terjun bebas dari lantai atas pusat perbelanjaan. Dan mungkin, masih banyak cara lain yang ditempuh guna berupaya mengakhiri hidup. Berikut ini hanyalah sedikit ulasan mengenai bunuh diri dipandang dari ilmu psikologi. Di luar tulisan ini, masih banyak hal bisa dan perlu digali dari fenomena ini. Semoga bermanfaat.

Tak baik buru-buru berpikir bahwa bunuh diri hanya terjadi di negara-negara berkembang atau bahkan negara miskin. Jangan pula begitu cepat menyimpulkan bahwa pelaku bunuh diri selalu berasal dari kalangan miskin dan tak terpelajar. Paparan berikut mungkin bisa merubah pandangan tersebut.

Faktanya, jumlah orang yang melakukan bunuh diri semakin meningkat di berbagai negara maju seiring dengan semakin menanjaknya kesejahteraan hidup dan dengan semakin kompleksnya kehidupan masyarakat. Swedia, Amerika Serikat, Denmark, dan Jepang merupakan contoh dari negara dengan tingkat bunuh diri yang relatif tinggi. Tampaknya, adakalanya kesejahteraan semata tak lagi bisa sepenuhnya memberikan kebahagiaan yang hakiki dan kepuasan hidup bagi seseorang.

Banyak definisi terkait dengan bunuh diri. Semua definisi itu dapat dikerucutkan pada pengertian dasar yaitu upaya menghilangkan nyawa sendiri. Banyak motif dan masalah yang melatarbelakangi seseorang hingga melakukan upaya bunuh diri. Ada yang karena patah hati lantaran putus cinta, masalah pekerjaan dan ekonomi, sakit yang tak kunjung sembuh, dan berbagai masalah lain yang mungkin menimbulkan penurunan harga diri, perasaan tak berguna, perasaan sepi yang teramat sangat, dan berbagai perasaan lain yang mungkin mengacaukan kekuatan mentalnya, merapuhkan jiwanya, dan membuatnya gagal survive.

Supratiknya (1995) mempertegas lagi sebab-sebab yang dapat memancing stres dan berakibat dilakukannya bunuh diri, yaitu depresi, krisis dalam hubungan interpersonal, kegagalan dan devaluasi diri, konflik batin, serta kehilangan makna dan harapan hidup.

Bunuh diri yang dilakukan secara personal, dengan alasan yang personal pula, semakin banyak terjadi pada masa modern. Hal ini mungkin dikarenakan orang merasa lebih bebas dan tidak mau lagi terikat oleh kebiasaan-kebiasaan dan konvensi-konvensi yang ada untuk memecahkan kesulitan hidupnya. Mereka cenderung memilih jalan singkat dengan caranya sendiri yaitu dengan bunuh diri, untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Dapat dikatakan, merupakan bentuk kegagalan seseorang dalam upayanya menyesuaikan diri terhadap tekanan-tekanan sosial dan tuntutan-tuntutan hidup yang mau tidak mau, suka tidak suka, akan terus mengiringi perjalanan hidup manusia.

Bagi mereka yang memiliki kekuatan mental dan kepribadian yang sehat dan utuh, berbagai tekanan dan tuntutan hidup disikapi secara sehat pula. Tekanan dan tuntutan hidup tak lagi dipandangnya sebagai sumber malapetaka semata dan tak pula terus menerus dihindari keberadaannya, namun dipandang sebagai sarana yang dapat mendewasakannya, yang akan mengantarkannya menjadi pribadi yang lebih tangguh di kemudian hari. Pula, menghadapi tekanan dan tuntutan hidup dipilihnya sebagai cara yang paling tepat dibandingkan melarikan diri dari masalah.

Emil Durkheim, sosiolog terkemuka Perancis yang banyak melakukan studi mengenai bunuh diri, merumuskan dan menguraikan tiga tipe bunuh diri yaitu:
Pertama, bunuh diri egoistis. Dalam bunuh diri ini, pelaku tidak mampu masuk dan membaur dengan lingkungan. Ia selalu menempatkan dirinya di atas yang lain dan tidak memperhatikan kebutuhan orang lain. Apabila ia mengalami krisis, ia tidak akan menerima bantuan moral dari kelompoknya karena ia tidak dapat membangun relasi yang baik dengan kelompoknya. Keadaan ini membuatnya tersudut dan melakukan tindakan bunuh diri.

Kedua, bunuh diri altruistis. Pelaku bunuh diri tipe ini sedemikian menyatunya dengan nilai-nilai kelompoknya sehingga ia merasa kehilangan identitas pribadinya ketika ia berada di luar kelompoknya.

Ketiga, bunuh diri anomis. Pelaku bunuh diri tipe ini merasa kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya. Nilai-nilai yang dahulu bisa memberikan semangat dan makna dalam hidupnya sekarang telah kehilangan kontrol atas dirinya.

Banyak faktor berpengaruh pada terjadinya bunuh diri. Pribadi yang tidak kawin dan bercerai, ditemukan tiga kali lebih banyak melakukan bunuh diri daripada mereka yang kawin dan tidak bercerai. Namun, ini nampaknya perlu dianalisis lebih luas lagi. Intinya, mereka yang hidup sendiri, yang cenderung terisolasi, yang tidak memiliki relasi yang dekat dan hangat, tak mesti karena tidak menikah, cenderung berpotensi melakukan bunuh diri ketika mereka dihadapkan pada masalah yang berat. Hal ini dapat dimengerti mengingat mereka mungkin kurang mendapat dukungan sosial dari lingkungannya.

Faktor-faktor yang diduga memberikan kontribusi besar pada terjadinya bunuh diri mencakup faktor sosiologis, faktor ekonomi, faktor politik, faktor pendidikan, dan faktor spiritual. Faktor sosiologis dapat berupa perubahan sosial yang terlalu cepat sehingga menimbulkan disintegrasi pribadi anggota masyarakat, masa-masa krisis, dan erosi norma-norma dan nilai-nilai.

Faktor ekonomi, tak dapat dipungkiri merupakan faktor penting hampir dalam segala hal bidang kehidupan. Ekonomi yang tak mendukung seringkali menimbulkan depresi apalagi bagi mereka yang harus menghidupi keluarga dan tinggal di perkotaan di mana hampir segala hal dinilai dengan rupiah.

Faktor pendidikan pun memberikan sumbangsih pada kasus bunuh diri. Satu sisi, kurangnya pendidikan yang berimbas pada kurangnya pengetahuan dan ketrampilan akan strategi pemecahan masalah dan kurangnya softskill yang berakibat menurunkan daya saing di dunia kerja, berakibat pada kondisi ekonomi yang kurang layak, sehingga orang lebih rentan untuk nekat melakukan bunuh diri sebagai jawaban atas masalah yang dihadapi. Tapi di sisi lain, di negara-negara Barat yang semakin maju, banyak pelaku bunuh diri justru berasal dari kalangan dengan pendidikan tinggi, dengan profesi yang bergengsi, dibandingkan dengan rakyat jelata. Ironis, tapi dapat dipahami. Semakin tinggi dan semakin baik tingkat pendidikan dan pekerjaan yang digeluti, identik dengan semakin tinggi pula beban mental dan moral yang harus dipanggulnya. Begitupun dengan masalah yang harus dihadapi. Ibarat kata, makin tinggi pohon, makin kencang angin bertiup.

Faktor spiritual diyakini pula sebagai faktor yang menentukan apakah bunuh diri akan dilakukan atau tidak. Umum dikatakan bahwa dengan tingkat pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai religiusitas, maka angka bunuh diri besar harapan akan menurun. Namun, adakalanya wawasan sempit terkait dengan religiusitas, justru memperbesar kemungkinan terjadinya bunuh diri. Individu berwawasan sempit akan lebih sering dikejar-kejar perasaan bersalah yang luar biasa bahkan pada kekeliruan-kekeliruan kecil yang sebenarnya bersifat manusiawi dan dapat diperbaiki di masa mendatang.

Seiring dengan banyaknya faktor yang mendasari terjadinya bunuh diri, tentunya banyak pula yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya bunuh diri ini. Membangun pondasi mental yang kuat dan membangun kepribadian yang kuat, terintegrasi, dan adaptif, tentunya menjadi yang paling utama. Mulai dari dasar, keluarga melalui pendidikan informalnya dan pola asuh yang diterapkannya, seyogyanya membantu menyediakan situasi yang mendukung untuk perkembangan mental yang sehat bagi anak-anaknya. Bersama-sama dengan pendidikan formal di institusi pendidikan di luar rumah dan masyarakat sekitar, turut serta membekali anak dengan berbagai strategi coping dan cara-cara adaptasi yang normatif. Dukungan sosial yang cukup juga perlu diberikan terutama ketika individu sedang manghadapi masalah agar ia tak merasa sendirian dan agar ia memiliki teman untuk berbagi dan mendapatkan masukan terkait dengan solusi yang tepat sehingga ia tidak memilih bunuh diri sebagai jalan pintas.

Mengingat membahas kasus bunuh diri merupakan pekerjaan yang kompleks dan harus dilakukan secara hati-hati dan teliti, tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari banyak hal yang harus dipelajari agar diperoleh gambaran dan pemahaman yang menyeluruh dan mendalam. Setiap kasus bunuh diri, setiap pelaku bunuh diri, tidak bisa dipandang secara sama. Terlalu banyak hal-hal dalam kehidupan individu yang berbeda-beda satu sama lain yang mungkin mendorong terjadinya bunuh diri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar