Selasa, 27 April 2010

MASALAH DAN STRES, KEMBAR SIAM TAK TERPISAHKAN

Seorang mahasiswa semester akhir baru saja keluar dari ruang dosen. Salah seorang teman bertanya, “Eh, gimana tadi? Lancar, kan?” Si mahasiswa menjawab, “Ah, gak tau deh, stres aku…,” ujarnya sambil setengah membanting hasil revisi skripsi.

Seorang anak kelas enam SD pulang ke rumah dengan wajah cemberut. Heran melihat anaknya tak seceria biasanya, sang mama bertanya, “Adek kenapa, sih? Kok pulang-pulang cemberut,” ujar sang mama. Si anak menjawab, “Ma, adek sebel. Nilai ulangan adek lebih jelek dari Siti,” jawab si anak sambil manyun. Malamnya, si anak demam tinggi. Sudah di bawa ke dokter, tapi dokter bilang, anak itu secara fisik baik-baik saja.

Dua kisah di atas hanyalah sedikit gambaran betapa masalah dan stres bisa menimpa siapa saja. Mulai dari yang dewasa bahkan yang masih anak-anak. Masalah pemicunya juga beragam. Ibarat kata, masalah pemicu stres sebanyak jumlah kepala manusia di dunia. Dampaknya, juga bisa berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain.

Saya masih ingat, ketika saya masih SD, jika ibu saya pergi ke luar kota karena harus menjalani suatu pengobatan, malamnya saya pasti demam tinggi. Ketika saya SMP, jika rangking saya turun, saya langsung sakit dan harus dibawa ke dokter. Bukan hanya saya, ibu saya yang menderita penyakit kanker mengharuskannya secara rutin melakukan cek darah untuk melihat pertumbuhan sel-sel kanker. Ternyata, sekian tahun saya mendampingi beliau, akhirnya saya dapat menyimpulkan bahwa masalah dan stres yang beliau hadapi dapat begitu mempercepat pertumbuhan sel-sel kankernya. Hingga beliau harus tutup usia saat saya saya baru berumur 15 tahun.

Hmm…, dan sekarang, saya sudah duduk di bangku kuliah di jurusan psikologi semester akhir. Banyak kajian mengenai stres dan dampak-dampaknya saya pelajari. Dan tulisan ini, adalah sebagian dari apa yang telah saya pelajari di samping banyak hal di luar sana yang masih harus saya pelajari. Biar sedikit, semoga bermanfaat. Selamat membaca…

Hubungan antara pikiran (mind) dan tubuh (body) telah menjadi topik perdebatan sejak dahulu kala. Rene Descartes mempengaruhi pemikiran modern dengan keyakinannya tentang dualisme atau keterpisahan antara pikiran dan tubuh. Sekarang, para klinisi dan ilmuwan menyadari bahwa pikiran dan tubuh sangat kuat terjalin, tidak seperti yang diperkirakan oleh model dualistik. Dengan kata lain, kesehatan mental dan kesehatan fisik tidak terpisahkan (Kendler, 2001). Stres berimplikasi secara luas pada masalah-masalah fisik dan psikologis.

Stres dan Penyakit
Beberapa kelenjar endokrin terlibat dalam menampilkan respon tubuh terhadap stres. Hormon-hormon stres yang diproduksi oleh kelenjar adrenal membantu tubuh menyiapkan diri mengatasi stresor atau ancaman. Apabila strsor sudah terlewati, tubuh kembali ke keadaan normal. Selama stres yang kronis, tubuh terus-menerus memompa keluar hormon-hormon, yang dapat menyebabkan kerusakan pada keseluruhan tubuh, termasuk menekan kemampuan dari sistem kekebalan tubuh yang melindungi kita dari berbagai infeksi dan penyakit (“Can Stress Make You Sick?”, 1998).

Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa stres membuat kita rentan terhadap penyakit karena melemahnya sistem kekebalan tubuh (Adler, 1999; Dougall & Baum, 2001; Strenberg, 2000). Melemahnya sistem kekebalan tubuh membuat kita rentan terhadap penyakit umum seperti demam dan flu, dan meningkatkan resiko berkembangnya penyakit kronis termasuk kanker. Stres karena peristiwa traumatis seperti berbagai bencana alam, bencana teknologi maupun bencana teknologi, tindak kekerasan; stresor kehidupan seperti perceraian dan tidak memiliki pekerjaan dalam waktu yang lama, juga mempengaruhi sistem kekebalan (O’Leary, 1990; Solomon dkk., 1997). Stres yang kronis juga dapat memperlambat kesembuhan luka (Kielcot-Glaser dkk., 1995).

Perubahan hidup dapat pula menjadi sumber stres. Perubahan hidup atau peristiwa hidup menjadi sumber stres bila perubahan tersebut menuntut kita untuk menyesuaikan diri. Perubahan hidup dapat berupa peristiwa menyenangkan seperti pernikahan maupun peristiwa yang menyedihkan seperti kematian orang tercinta. Meskipun perubahan hidup yang menyenangkan (positif) maupun yang tidak menyenangkan (negatif) dapat menyebabkan stres, perubahan hidup yang positif mengakibatkan gangguan yang lebih ringan daripada perubahan hidup yang negatif (Thoits, 1983). Atau dapat pula dikatakan, perubahan untuk kehidupan yang lebih baik merupakan perubahan, tapi tidak terlalu mengganggu. Perlu dicatat pula, bahwa tidak mengalami peristiwa apapun (misalnya, tidak mengalami perubahan hidup) juga dapat menimbulkan stres dan berhubungan kuat dengan resiko masalah kesehatan fisik (Theorell, 1992).

Konflik Internal sebagai Salah Satu Sumber Stres
Selain peristiwa yang terjadi di luar diri (konflik-konflik eksternal), stres juga dapat ditimbulkan oleh proses internal yaitu konflik yang tidak terpecahkan yang mungkin disadari atau tidak disadari. Konflik terjadi jika seseorang harus memilih antara tujuan atau tindakan yang tidak sejalan atau bertentangan. Konflik juga dapat terjadi jika dua kebutuhan internal atau dua motif berlawanan. Di dalam masyarakat, konflik yang paling mendalam dan sulit untuk dipecahkan biasanya terjadi di sekitar motif-motif berikut:
1. Kemandirian vs Ketergantungan
Terutama jika dihadapkan pada situasi yang sulit, kita mungkin menginginkan seseorang untuk membantu kita dan memecahkan masalah kita. Tetapi kita diajarkan bahwa kita tetap harus berdiri di atas kaki sendiri dan mengambil tanggung jawab. Di lain waktu, kita mungkin menginginkan kemandirian, tetapi situasi atau orang lain memaksa kita untuk tetap bergantung.

2. Keintiman vs Isolasi
Keinginan untuk dekat dengan orang lain dan berbagi pikiran dan emosi terdalam mungkin bertentangan dengan rasa takut dilukai atau ditolak jika kita menceritakan terlalu banyak tentang diri kita sendiri.

3. Kerja sama vs Persaingan
Masyarakat memberikan tekanan besar pada persaingan dan keberhasilan. Persaingan telah dimulai pada masa anak-anak, di antara kakak-adik, bersambung ke masa sekolah, dan berpuncak di dalam persaingan bisnis dan professional. Pada saat yang sama, kita didesak untuk bekerja sama dan membantu orang lain.

4. Ekspresi Impuls vs Standar Moral
Impuls harus diatur di dalam semua masyarakat. Seks dan agresi adalah dua bidang di mana impuls kita seringkali bertentangan dengan standar moral dan pelanggaran standar tersebut dapat menimbulkan perasaan bersalah.

Reaksi Psikologis terhadap Stres
1. Kecemasan
Orang yang mengalami peristiwa yang di luar rentang penderitaan manusia normal misalnya setelah bencana alam, pemerkosaan, dan penculikan, kadang-kadang mengalami suatu kumpulan gejala berat yang berkaitan dengan kecemasan, yang dikenal sebagai gangguan stres pasca traumatik. Gejala utamanya antara lain perasaan mati rasa terhadap dunia dengan hilangnya minat terhadap aktivitas terdahulu dan merasa tersingkir dari orang lain; menghidupkan kembali trauma secara berulang-ulang dalam kenangan dan mimpi; serta gangguan tidur, sulit berkonsentrasi, dan kesiagaan berlebihan.

2. Kemarahan dan Agresi
Reaksi umum lain terhadap stres ialah kemarahan yang dapat diikuti dengan agresi. Dalam kondisi penuh tekanan, perasaan orang akan menjadi lebih sensitif. Gurauan belakan dapat membuat orang yang sedang stres terpancing emosinya dan bila tidak terkendalikan, maka tindakan agresif sangat mungkin dilakukan.

3. Gangguan Kognitif
Seringkali stres membuat yang bersangkutan sulit berkonsentrasi dan mengorganisasikan pikiran mereka secara logis. Sebagai akibatnya, kemampuan mereka melakukan pekerjaan yang kompleks, cenderung memburuk. Gangguan kognitif ini mungkin berasal dari dua sumber. Tingkat rangsangan emosional yang tinggi dapat mengganggu pengolahan informasi di pikiran. Sehingga semakin cemas, marah, atau terdepresinya kita setelah suatu stresor, semakin besar kemungkinan kita akan mengalami gangguan kognitif. Gangguan kognitif juga dapat terjadi jika pikiran yang mengganggu terus berjalan di otak kita jika kita berhadapan dengan suatu stresor.

Faktor-Faktor Psikologis yang Mengurangi Stres
1. Cara Coping Stres
Penyangkalan merupakan suatu contoh coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) (Lazarus & Folkman, 1984). Pada coping yang berfokus pada emosi, orang berusaha segera mengurangi dampak stresor, dengan menyangkal adanya stresor atau menarik diri dari situasi. Namun, coping yang berfokus pada emosi tidak menghilangkan stresor atau tidak juga membantu individu dalam mengembangkan cara yang lebih baik untuk mengatur stresor. Bentuk lain dari coping yang berfokus pada emosi ialah melamun atau berkhayal yang merupakan bentuk pelarian secara imejiner, bukan bentuk tindakan untuk mengatasi masalah.

Sebaliknya, pada coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping), orang menilai stresor yang mereka hadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stresor atau memodifikasi reaksi mereka untuk meringankan efek dari stresor tersebut. Coping yang berfokus masalah melibatkan strategi untuk menghadapi secara langsung sumber stres misalnya melalui pencarian informasi agar bisa bersikap lebih optimis.

2. Harapan akan Self Efficacy
Harapan akan self efficacy berkenaan dengan harapan kita akan kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang kita hadapi, harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan akan kemampuan diri untuk dapat menghasilkan perubahan hidup yang positif (Bandura, 1986). Kita mungkin dapat mengelola stres dengan lebih baik apabila kita percaya diri dan yakin bahwa kita mampu mengatasi stres atau memiliki harapan yang tinggi. Apabila self efficacy meningkat maka tingkat hormon stres menurun.

Menutup tulisan ini, berikut adalah kesimpulan dari banyak hal yang bisa kita gali dan pelajari dari masalah dan stres…

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang hidup tanpa masalah sama sekali. Meski apa yang dianggap sebagai masalah itu sifatnya relatif. Artinya apa yang menjadi masalah besar bagi si A, mungkin buat si B tidaklah demikian, mungkin buatnya, masalah si A hanyalah kerikil kecil dalam perjalanan hidup setiap manusia. Bahkan, menurut saya, hidup itu sendiri adalah sumber dari segala masalah. Jika kita sudah berani untuk hidup, maka kita juga harus berani menerima konsekuensinya, yaitu menghadapi serangkaian masalah yang berkelanjutan.

Salahkah jika kita mengalami stres karena suatu masalah? Tidak ada yang salah dengan stres. Stres merupakan sinyal alami bahwa kita sedang menuju proses adaptasi terhadap masalah yang tengah dihadapi. Bahkan, masalah dan stres seringkali menjadi motivasi yang besar untuk meraih prestasi yang tinggi. Yang penting, kita harus bisa mengontrol pikiran kita sendiri sehingga stres itu tidak berkepanjangan dan melemahkan potensi-potensi diri yang seharusnya berkembang.

Jadi, jadikan masalah dan stres yang tengah Anda alami sebagai wahana untuk berintrospeksi, saat untuk menghimpun kembali energi-energi dan potensi-potensi yang Anda miliki, dan jadilah pribadi yang lebih baik, yang lebih matang dan dewasa, yang tangguh, hingga akhirnya… Anda akan berterima kasih pada segenap masalah dan stres yang pernah menerpa hidup Anda, karena ia telah memberikan banyak pelajaran berharga dan menjadi sumber motivasi dan inspirasi yang tiada henti…

Sumber:
Atkinson, R.L., Atkinson, R.C, Smith, E.E., Bem, D.J. 2002. Pengantar Psikologi Jilid 2. Batam: Interaksara
Nevid, J.S., Rathus, S.A., Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar