Senin, 10 Mei 2010

HIDUPMU TAK UNTUK BERHENTI

Siapa lagi yang hendak menguatkan hatimu, jika bukan dirimu sendiri…
Siapa lagi yang dapat meneguhkan jiwamu, kalau bukan kamu seorang…
Tak ada yang salah jika kau memiliki seorang belahan jiwa…
Seseorang yang kau tempatkan di tempat yang tertinggi di puncak hatimu…
Seseorang yang kedatangannya selalu kau nanti-nanti…
Seseorang yang kepergiannya kau tangisi dan sesali…
Yang salah hanyalah…
Manakala kau mati, saat dia tak ada di sampingmu…
Karena kau…
Tidak harus menjadi lemah dengan kehilangannya…
Tak juga perlu membuktikan kesungguhan hatimu dengan membiarkan separuh jiwamu mati bersama dia yang pergi…
Meninggalkanmu…
Sendiri…
Jalanilah hidupmu…
Sebagaimana yang seharusnya berjalan…
Cukup simpan dia dalam relung hatimu yang terdalam…
Dan temuilah, dan berbincanglah dengannya jika kau membutuhkan…
Karena hidup…
Harus tetap berjalan…
Dengan atau tanpa orang yang kau sayangi…

(Sedikit kata-kata untuk orang-orang yang membutuhkannya, yang merasa dirinya cocok dengan tulisan di atas. Tetap semangat!!)

SATU FAKTA DI ATAS LAJU BUS EKONOMI

Seorang wanita, kalau boleh saya taksir, usianya tak lebih dari empat puluh tahun, naik ke bus jurusan Jogja - Solo yang saya tumpangi. Hari masih siang saat itu. Panas teriknya matahari semakin membuat panas udara di dalam bus ekonomi itu. Saya duduk di urutan ke tiga dari depan.

Kembali pada wanita itu. Wanita itu berdiri dan terdiam beberapa saat, tak jauh dari kursi sopir. Awalnya, saya pikir, wanita tersebut juga seorang penumpang sama halnya dengan saya atau penumpang lainnya. Tapi, sesaat kemudian, wanita tersebut nampak mengeluarkan sesuatu dari dalam tas pinggang yang dikenakannya. Setumpuk amplop kecil rupanya. Kemudian, ia segera membagi-bagikan satu demi satu amplop tersebut kepada setiap penumpang bus, dari kursi paling depan dan kemudian terus ke belakang. Hingga sesaat kemudian, giliran saya yang mendapat amplop itu. Wanita itu meletakkan amplop di atas pangkuan saya. Amplop putih, kecil, dan ketika saya buka dan saya lihat isinya, ternyata tak ada apa-apa di sana alias kosong.

Awalnya, saya sempat bingung. Apa maksud wanita itu? Pun pula,wanita itu tak mengucapkan kata-kata sedikitpun. Kemudian, saya berinisiatif untuk mengamati amplop tersebut. Mungkin, ada sesuatu di sana. Ternyata, di salah satu sisi amplop tersebut, terdapat tulisan, “MOHON SUMBANGANNYA UNTUK MAKAN DAN KEBUTUHAN SEHARI-HARI.” Tulisan yang digoreskan dengan tinta pulpen warna biru. Semua dengan huruf kapital. Ooo… baru saya mengerti. Rupanya, wanita tersebut sedang meminta-minta uang.

Terbersit dalam pikiran saya, kenapa wanita tersebut tidak berbicara barang sepatah dua patah kata sebelum membagikan amplop? Seperti yang biasa dilakukan para pengamen, penjual asongan, atau peminta-minta sumbangan lainnya di bus ekonomi. Oh, mungkin wanita itu tuna wicara. Begitu jawaban yang paling nampak masuk akal di pikiran saya.

Saya nyaris saja memasukkan lembaran uang ribuan ke dalam amplop yang tadi dia berikan. Tapi, saya kemudian mengurungkannya. Kenapa? Sesaat sebelum saya memasukkan uang ke dalam amplop, wanita tersebut telah kembali ke barisan kursi paling depan dan meminta kembali amplop-amplop tersebut satu per satu. Sambil mengambil amplop, wanita tersebut berkata, “Terima kasih… terima kasih…,” begitu seterusnya.

Itulah yang menggelitik benak saya dan mendorong saya untuk memasukkan kembali lembaran uang ribuan ke dalam kantong celana. Jujur, baru kali ini saya bertemu dengan orang yang meminta-minta uang tapi tanpa bicara apapun sebelumnya, padahal orang tersebut juga bukan seorang tuna wicara.

Beberapa saat sebelum wanita itu masuk ke dalam bus dan memulai aksinya membagikan amplop, seorang lelaki paruh baya telah terlebih dahulu mengamen meski suaranya terdengar tak jelas karena rupanya ia mengalami gangguan dengan suaranya sehingga yang menonjol hanyalah bunyi-bunyi tutup botol yang disusun sedemikian rupa, di antara sesaknya penumpang. Ada pula sekelompok pengamen yang terdiri dari lima orang, yang menyanyikan dua lagu dengan iringan beberapa alat musik. Cukup lengkap, iramanya juga cukup teratur, dan yang pasti cukup menghibur untuk ukuran musisi jalanan. Tapi, bagaimana dengan wanita tersebut?

Pertemuan dengan wanita pembawa amplop itu memaksa saya untuk merenung. Sesaat setelah wanita itu meminta kembali amplopnya dari saya, saya berpikir. Bahkan sampai saat ini, setelah berbulan-bulan kemudian, pikiran tersebut masih kerap muncul, hingga saya menuliskannya di blog ini. Apakah hidup memang sudah sedemikian sulitnya hingga tidak ada lagi pekerjaan lain yang dapat dilakukan untuk mendapatkan makan? Hingga beberapa orang (salah satunya wanita pembawa amplop itu) menjadi begitu putus asa, kemudian memilih menjadi peminta-minta yang dengan mudahnya membagi-bagikan amplop kosong dan berharap dermawan untuk mengisinya?

Atau sebenarnya, beberapa orang memang telah sedemikian malasnya hingga enggan untuk bekerja sedikit lebih keras untuk mencari uang tanpa harus menjadi peminta-minta? Apakah saking malasnya, hingga ia memilih untuk menggantungkan hidupnya begitu saja pada orang lain?

Semoga pikiran saya yang ke dua adalah salah. Semoga, kejadian seperti di bus itu bukanlah suatu kondisi yang akan terus begitu tanpa bisa diubah. Saya hanya tak yakin, jalan mencari uang seperti yang wanita tersebut lakukan, seberapa banyakpun uang yang bisa ia peroleh setiap harinya, akan dapat membuat hidupnya atau hidup keluarganya menjadi lebih baik. Karena, ini berkaitan dengan mind set mereka. Ketika pikiran orang telah diformat menjadi malas, jangankan bekerja keras untuk memperoleh uang dengan pekerjaan yang lebih baik demi meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik pula; diberikan segudang fasilitas pun, orang malas tetap sulit menjadi lebih rajin tapi malasnya malah semakin menjadi. Semoga saja, wanita tersebut mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari pada yang ia lakukan saat saya bertemu dengannya. Semoga…