Rabu, 16 September 2009

MEMANDANG HOMOSEKSUALITAS DARI KACAMATA PSIKOLOGI

Beberapa di antaranya berperan sebagai butchi, beberapa yang lainnya lebih sebagai femme… Sayang, kita tidak pernah tahu pada siapa hati akan berlabuh…”

Istilah “homoseksual” dapat merujuk pada pria maupun wanita. Pada wanita biasa disebut lesbian sedangkan pada laki-laki biasa disebut sebagai gay. Istilah butchi dan femme biasa digunakan dalam hubungan lesbian. Butchi ialah lesbian yang lebih berperan sebagai laki-laki (lesbian laki-laki) sedangkan femme ialah lesbian yang lebih berperan sebagai perempuannya. Individu dianggap homoseksual jika secara seksual tertarik terutama pada individu lain berjenis kelamin sama. Sebagian ahli menyetujui pandangan Kinsey bahwa homoseksualitas bukanlah suatu masalah dan atau; perilaku seksual jatuh di dalam suatu kesinambungan, dengan individu heteroseksual secara eksklusif di ujung rangkaian dan homoseksual secara eksklusif di ujung rangkaian yang lain. Di antara keduanya, ada berbagai campuran perilaku seksual.

HOMOSEKSUALITAS DAN KESEHATAN MENTAL

Sampai munculnya revolusi seksual pada akhir tahun 1960-an, homoseksualitas dianggap suatu penyakit mental atau penyimpangan abnormal. Walaupun masih banyak orang memandang homoseksualitas sebagai sesuatu yang tidak alami, sebagian besar ahli psikologi dan psikiater menganggapnya sebagai varian ekspresi seksual dan bukan merupakan indikasi ataupun penyebab penyakit mental. Dalam sebagian penelitian tentang kesehatan mental, homoseksual dipandang sama baiknya seperti heteroseksual dalam bidang kehidupan lain (Bell & Weinberg, 1978). Singkatnya, tidak ada bukti bahwa orientasi homoseksual sendiri berkaitan dengan kondisi kesehatan mental yang buruk.

LINGKUNGAN VS BIOLOGIS

Walaupun telah banyak riset mengenai homoseksualitas dilakukan, namun masih sedikit yang dapat diketahui mengenai penyebab homoseksualitas. Sejauh ini, belum ditemukan perbedaan dalam hal karakteristik tubuh antara homoseksual dengan heteroseksual. Walaupun sebagian homoseksual pria mungkin tampak sangat feminim dan sebagian homoseksual wanita tampak sangat maskulin. Artinya, belum tentu pria yang penampilan atau perilakunya agak feminim ialah seorang gay dan bukan berarti pula wanita yang berpenampilan maskulin pasti lesbi.
Perbedaan biologis yang lebih masuk akal ialah hormon. Hipotesis biologis berkaitan dengan ini ialah bahwa homoseksual dan heteroseksual mengalami perbedaan pemaparan hormonal pada saat masih di dalam kandungan. Selama kehidupan prenatal, janin laki-laki mensekresikan testosteron dan testosteron ini menyebabkan maskulinitas otak. Janin laki-laki yang mendapatkan testosteron yang lebih rendah pada masa kritis kehidupan prenatal mendapatkan predisposisi ke arah homoseksualitas pasa masa dewasanya. Demikian pula, janin perempuan yang terpapar dengan testosteron dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata mungkin terpredisposisi ke arah lesbianisme pada masa dewasanya.

Hipotesis ini juga didukung oleh penemuan terakhir yang menunjukkan adanya perbedaan anatomis antara pria heteroseksual dengan pria homoseksual (Le Vay, 1991). Hipotalamus merupakan daerah otak yang kemungkinan terpengaruh oleh testosteron dalam rahim. Namun, hipotesis ini hanya berlaku pada kasus homoseksual eksklusif. Pada kasus homoseksual yang lain, homoseksualitas sepenuhnya dipelajari dan jika diinginkan, dapat diubah melalui terapi.

Pada umumnya, kaum homoseksual sendiri tidak mengetahui mengapa mereka menjadi demikian. Sebagian dari mereka ada yang dapat menerima keadaan dirinya dan hidup dengan senang sebagai homoseksual (dinamakan egosintonik) dan sebagian lagi tidak bisa menerima keadaan dirinya, merasa dirinya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku sehingga mereka terus menerus berada dalam konflik (disebut egodistonik), (PPDGJ, 1983:241). Golongan terakhir inilah yang sering menjadi klien atau pasien psikolog maupun psikiater.
Konflik batin antara mematuhi norma dengan menyalurkan hasrat yang dilarang masyarakat, menurut Malyon bukan disebabkan oleh homoseksualitas itu sendiri. Akan tetapi, oleh sikap negatif masyarakat yang tidak semestinya, sehingga masyarakat inilah yang harus diubah melalui penerangan dan pendidikan (Bales, 1985).

Karena sifatnya yang sangat tergantung pada norma sosial budaya, sulit untuk menyatakan homoseksual ini sebagai penyakit atau kelainan atau gangguan jiwa. Oleh karena itu, gejala ini tidak lagi digolongkan sebagai penyakit atau gangguan jiwa lagi. Seperti diungkapkan oleh Freud bahwa pada setiap manusia terdapat dorongan biseksual. Pada sebagian besar orang, dorongan ini berkembang ke arah jenis kelamin yang berbeda dan menjadikannya heteroseksual. Pada sebagian lainnya, dorongan ini berkembang menjadi homoseksual. Di antara dua ekstrim ini, ada perpaduan keduanya. Dari pengalaman orang-orang yang pernah menangani langsung kasus homoseksualitas, terdapat beberapa orang dengan orientasi seks sesama jenis yang memiliki ciri-ciri tertentu , lebih mudah dibantu untuk menuju heteroseksual. Ciri-ciri tersebut ialah:
1. Umur di bawah 35 tahun,
2. Pernah mengalami aktivitas heteroseksual,
3. Mempunyai motivasi tinggi.
(Tobing, 1988:33).

“Jika homoseksual dipandang sebagai pilihan hidup yang dijalani seseorang, alangkah lebih baik kita belajar untuk menghargainya. Memahami apa yang menjadi penyebabnya melalui ilmu pengetahuan mungkin akan lebih bijak daripada menghujat keberadaannya. Toh, menghargai tak berarti pula menyetujuinya.”

Minggu, 06 September 2009

TEGAR DAN KETEGARANNYA

Seorang bocah bernama Endi Tegar Kurniadinata yang baru berumur 4 tahun, harus kehilangan kaki kanannya hingga sebatas lutut akibat ulah ayah kandungnya. Pagi-pagi buta, Tegar, begitu anak ini biasa dipanggil, digendong sang ayah menuju perlintasan kereta api sebelum kemudian tubuh mungilnya diletakkan sang ayah di atas rel KA. Sesaat kemudian, KA Bangunkarta pun melintas. Tak pelak, kaki kanan Tegar pun langsung terlindas KA dan lepas. Bukannya menolong, sang ayah justru kabur meninggalkannya. Tegar pun berusaha pulang ke rumah dengan merangkak. Luka di kakinya yang buntung itu hanya terlindung oleh celana. Hingga ia sampai di rumah dan berteriak, “Mbah…Mbah…kakiku copot…”.

Kisah di atas saya kutip dari berita yang dimuat rubrik peristiwa, Tabloid Nova edisi 13 – 19 Juli 2009. Ironis, seorang ayah yang semestinya selalu menjaga dan melindungi anaknya, justru tega merenggut masa depannya yang panjang. Jika bukan kuasa Tuhan, mungkin Tegar tidak hanya akan kehilangan kakinya tetapi juga nyawanya. Konon, sang ayah tega melakukan tindakan keji itu lantaran percekcokannya dengan sang istri yang juga ibu kandung Tegar. Apapun alasannya, tidak sepatutnya percekcokan yang terjadi antara suami-istri sampai berimbas pada anak apalagi sampai nyaris merenggut nyawanya.

Contoh kasus di atas ialah salah satu bentuk kekerasan/penindasan fisik yang dialami anak. Anak-anak memang rentan mengalami kekerasan, entah kekerasan fisik maupun psikis. Ini lantaran mereka belum punya kendali atas diri mereka sendiri dan kekuatan yang masih sangat terbatas untuk melawan orang-orang dewasa bahkan orang tua sendiri yang melakukan penindasan terhadap mereka. Tapi itu bukan berarti sah-sah saja anak-anak menjadi sasaran penindasan dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Justru menjadi kewajiban bagi semua orang dewasa di sekitarnya, apalagi orang tua, untuk melindungi anak-anak dari hal-hal yang dapat membahayakannya.

Luka di kaki Tegar mungkin akan sembuh sebentar lagi. Tegar mungkin juga akan segera terbiasa menggunakan alat-alat untuk membantunya berjalan. Darah juga sudah berhenti mengucur dari luka itu. Tapi bagaimana dengan cita-citanya menjadi tentara yang harus kandas? Bagaimana ia akan menghadapi orang-orang di luar sana yang mungkin mencibir kecacatannya? Bagaimana peristiwa traumatis itu akan membayang-banyanginya setiap malam? Bagaimana jika suatu saat nanti temannya bertanya, “Bagaimana ayahmu, apakah ia ayah yang baik?”, apakah Tegar harus menjawab, “Ayahku yang membuat kakiku copot…”, ?

Tegar masih terlalu muda untuk semua itu. Seperti kata Sigmund Freud, tokoh psikologi dunia, pengalaman lima tahun awal kehidupan seseorang akan menentukan masa depan orang itu. Mungkin itu pula yang akan terjadi pada Tegar. Seorang ayah yang seharusnya menjadi teladan baginya, yang seharusnya bisa melindunginya, dan yang seharusnya bisa selalu ia percaya, justru nyaris merenggut nyawanya dan menghancurkan masa depannya yang masih sangat panjang. Bukan tidak mungkin, saat dewasa nanti, Tegar akan kehilangan kepercayaan kepada orang lain lantaran peristiwa tragis yang dialaminya itu. Belum lagi rasa minder yang akan ia rasakan karena fisiknya yang tidak sempurna seperti anak-anak lain.

Tegar boleh saja tidak menangis ketika harus merangkak pulang dengan kaki berdarah-darah, tapi mungkin tidak dengan hatinya. Hatinya mungkin tidak hanya menangis tapi bahkan menjerit. Sayang, masih banyak Tegar-Tegar yang lain di luar sana, yang menangis bahkan menjerit pilu lantaran ditindas oleh orang tuanya sendiri, orang yang seharusnya bisa mereka andalkan.