Minggu, 06 September 2009

TEGAR DAN KETEGARANNYA

Seorang bocah bernama Endi Tegar Kurniadinata yang baru berumur 4 tahun, harus kehilangan kaki kanannya hingga sebatas lutut akibat ulah ayah kandungnya. Pagi-pagi buta, Tegar, begitu anak ini biasa dipanggil, digendong sang ayah menuju perlintasan kereta api sebelum kemudian tubuh mungilnya diletakkan sang ayah di atas rel KA. Sesaat kemudian, KA Bangunkarta pun melintas. Tak pelak, kaki kanan Tegar pun langsung terlindas KA dan lepas. Bukannya menolong, sang ayah justru kabur meninggalkannya. Tegar pun berusaha pulang ke rumah dengan merangkak. Luka di kakinya yang buntung itu hanya terlindung oleh celana. Hingga ia sampai di rumah dan berteriak, “Mbah…Mbah…kakiku copot…”.

Kisah di atas saya kutip dari berita yang dimuat rubrik peristiwa, Tabloid Nova edisi 13 – 19 Juli 2009. Ironis, seorang ayah yang semestinya selalu menjaga dan melindungi anaknya, justru tega merenggut masa depannya yang panjang. Jika bukan kuasa Tuhan, mungkin Tegar tidak hanya akan kehilangan kakinya tetapi juga nyawanya. Konon, sang ayah tega melakukan tindakan keji itu lantaran percekcokannya dengan sang istri yang juga ibu kandung Tegar. Apapun alasannya, tidak sepatutnya percekcokan yang terjadi antara suami-istri sampai berimbas pada anak apalagi sampai nyaris merenggut nyawanya.

Contoh kasus di atas ialah salah satu bentuk kekerasan/penindasan fisik yang dialami anak. Anak-anak memang rentan mengalami kekerasan, entah kekerasan fisik maupun psikis. Ini lantaran mereka belum punya kendali atas diri mereka sendiri dan kekuatan yang masih sangat terbatas untuk melawan orang-orang dewasa bahkan orang tua sendiri yang melakukan penindasan terhadap mereka. Tapi itu bukan berarti sah-sah saja anak-anak menjadi sasaran penindasan dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Justru menjadi kewajiban bagi semua orang dewasa di sekitarnya, apalagi orang tua, untuk melindungi anak-anak dari hal-hal yang dapat membahayakannya.

Luka di kaki Tegar mungkin akan sembuh sebentar lagi. Tegar mungkin juga akan segera terbiasa menggunakan alat-alat untuk membantunya berjalan. Darah juga sudah berhenti mengucur dari luka itu. Tapi bagaimana dengan cita-citanya menjadi tentara yang harus kandas? Bagaimana ia akan menghadapi orang-orang di luar sana yang mungkin mencibir kecacatannya? Bagaimana peristiwa traumatis itu akan membayang-banyanginya setiap malam? Bagaimana jika suatu saat nanti temannya bertanya, “Bagaimana ayahmu, apakah ia ayah yang baik?”, apakah Tegar harus menjawab, “Ayahku yang membuat kakiku copot…”, ?

Tegar masih terlalu muda untuk semua itu. Seperti kata Sigmund Freud, tokoh psikologi dunia, pengalaman lima tahun awal kehidupan seseorang akan menentukan masa depan orang itu. Mungkin itu pula yang akan terjadi pada Tegar. Seorang ayah yang seharusnya menjadi teladan baginya, yang seharusnya bisa melindunginya, dan yang seharusnya bisa selalu ia percaya, justru nyaris merenggut nyawanya dan menghancurkan masa depannya yang masih sangat panjang. Bukan tidak mungkin, saat dewasa nanti, Tegar akan kehilangan kepercayaan kepada orang lain lantaran peristiwa tragis yang dialaminya itu. Belum lagi rasa minder yang akan ia rasakan karena fisiknya yang tidak sempurna seperti anak-anak lain.

Tegar boleh saja tidak menangis ketika harus merangkak pulang dengan kaki berdarah-darah, tapi mungkin tidak dengan hatinya. Hatinya mungkin tidak hanya menangis tapi bahkan menjerit. Sayang, masih banyak Tegar-Tegar yang lain di luar sana, yang menangis bahkan menjerit pilu lantaran ditindas oleh orang tuanya sendiri, orang yang seharusnya bisa mereka andalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar