Kamis, 18 November 2010

SEJUTA NYALI UNTUK SATU PERUBAHAN

RESENSI BUKU

SEJUTA NYALI UNTUK SATU PERUBAHAN

Judul : Saya Nujood, Usia 10 Tahun dan Janda
Jenis Buku : True Story
Penulis : Nujood Ali bersama Delphine Minoui
Penerjemah : Lulu Fitri Rahman
Penerbit : Pustaka Alvabet
Tahun Terbit : 2010
Halaman : 236

Buku ini mengisahkan sekelumit perjalanan hidup dari seorang gadis belia, Nujood Ali, yang dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengan seorang lelaki yang usianya tiga kali lipat dari usia sang gadis. Pernikahan yang secara paksa merenggut keceriaan masa anak-anaknya. Pernikahan yang membuat Nujood mesti tinggal bersama suami dan keluarganya di sebuah desa terpencil di pedalaman Yaman. Berbagai bentuk penganiayaan fisik dan emosional datang bertubi-tubi dalam kehidupan Nujood, baik dari si ibu mertua maupun oleh suaminya sendiri. Keperawanannya direnggut oleh sang suami yang pernah berjanji untuk tak menyentuhnya sebelum ia cukup umur. Keperawanan yang direnggut saat Nujood tak sepenuhnya mengerti arti keperawanan dan malam pertama itu sendiri. Yang ada hanyalah rasa sakit di antara kedua kakinya dan menyisakan trauma yang panjang dalam hidupnya di kemudian hari.

Beban derita yang dirasa terlalu berat untuk dipikul di pundak-pundak kecilnyalah yang pada akhirnya membulatkan tekad sang tokoh utama ini untuk melarikan diri dari rumah, dari suami dan keluarganya, menginjakkan kakinya untuk yang pertama kali di sebuah gedung pengadilan. Sebuah keputusan amat berani yang dilakukan oleh anak seusianya, keputusan yang perlahan namun pasti, memberikan setitik demi setitik cahaya terang dalam hidupnya yang nyaris gelap lantaran kekolotan sistem di sebuah negeri yang sebagian gadis-gadisnya lazim menikah di bawah umur. Keputusan yang tak pernah ia sesali, keputusan itu pulalah yang sedikit demi sedikit mampu menggerus rasa trauma yang menghantui hati mungilnya dan mengembalikan nuansa anak-anaknya, bahkan mengilhaminya untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit, sesuatu yang langka untuk kebanyakan gadis Yaman.

Hebatnya, nyalinya yang sudah teruji dalam mendobrak sebuah sistem kolot di negeri di mana ia dilahirkan itu tak hanya mengubah kehidupannya saja, namun juga kehidupan gadis-gadis lain yang dirajam masa anak-anaknya oleh pernikahan di bawah umur yang mengatasnamakan adat istiadat dan kehormatan keluarga. Keberanian Nujood dalam menentang adat istiadat dan dukungan luar biasa dari sejumlah orang yang terus mencoba mengembalikan Nujood ke dalam fitrahnya sebagai gadis belia yang sangat mendambakan saat-saat bermain-main dengan sebayanya ketimbang memanggul beban sebagai seorang isteri yang harus melayani suami, telah menarik perhatian dunia internasional. Nujood, gadis kecil di pelosok Negeri Yaman mekar layaknya selebritis baru.

Mungkin, buku ini tak akan jadi menarik jika hanya sekedar mengangkat kisah pernikahan di bawah umur yang dialami Nujood. Pasalnya, kisah semacam Nujood ini sebenarnya begitu banyak terjadi, mungkin hampir di seluruh belahan dunia, juga di negeri kita tercinta ini, Indonesia. Namun, buku ini menjadi sebuah inspirasi besar yang menggugah nurani lantaran tak banyak dari para korban pernikahan di bawah umur yang berani menentang dan memperjuangkan kembali asa akan cita-cita yang mulai memudar, dan Nujood adalah salah satu pemberani itu.

Banyak manfaat yang bisa dipetik dari membaca buku ini. Meski diungkap dengan gaya bahasa yang sederhana, disisipi dengan beberapa kata asing, penulis nampaknya malah berhasil memberikan gambaran yang nyata akan kepolosan pola pikir dan perasaan anak berusia 10 tahun. Bagi pembaca yang memiliki keluarga atau kerabat yang mengalami pemaksaan pernikahan di bawah umur, kisah yang dirangkum dengan apik ini mungkin bisa dijadikan referensi bagus guna mencegah terulangnya kembali pernikahan-pernikahan serupa di kemudian hari atau mungkin membantu para korban pernikahan itu untuk kembali mendapatkan kehidupannya yang telah direnggut paksa oleh orang-orang dewasa yang mestinya jadi pengayom mereka dan berdiri di garda terdepan dalam mengasuh dan menjaga mereka dari segala bentuk eksplorasi baik yang nyata nampak maupun yang tersembunyi di balik kolotnya adat istiadat .

Sementara bagi yang belum pernah mengalami atau mengetahui adanya kisah demikian, buku ini dapat dijadikan pembuka mata, penambah wawasan, dan tentunya pembangkit rasa syukur yang tak habis-habisnya bahwa kita tak dilahirkan dan dibesarkan dalam adat istiadat yang demikian hingga sampai hari ini, saat kita bertumbuh semakin dewasa, kita tak kehilangan satu momen pun dalam masa anak-anak kita dan kita masih bisa menghimpun kembali kenangan-kenangan tentang masa anak-anak kita yang telah lalu dalam sebuah bingkai kenangan yang indah, bukan bingkai trauma yang menguras air mata.



BIARKAN AKU MEMILIH

RESENSI BUKU
BIARKAN AKU MEMILIH

Judul : Biarkan Aku Memilih
Jenis Buku : True Story
Penulis : Hartoyo bersama Titiana Adinda
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun Terbit : 2009
Halaman : 134

Biarkan Aku Memilih merupakan judul dari sebuah buku yang menceritakan mengenai pengakuan seorang gay di tanah rencong yang coming out alias telah berbicara jujur mengenai orientasi seksualnya kepada publik. Kisah yang dikupas tuntas dalam buku ini bukanlah sebuah kisah fiksi atau dongengan semata, melainkan kisah nyata, kisah hidup seorang Hartoyo yang sejak kecil telah merasakan getar-getar aneh dengan sesama lelaki. Getaran aneh yang tak lekang oleh waktu dan terus terbawa hingga ia mulai beranjak makin dewasa. Ia sendiri tak tahu pasti mengapa hal itu bisa terjadi. Sebuah pengakuan yang jamak terdengar dari penuturan banyak pecinta sesama jenis lainnya.

Hartoyo dilahirkan di Binjai, Sumatra Utara dan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri baginya hingga ia bisa menamatkan studinya di sebuah universitas negeri di Aceh. Kebanggaan karena bukan hal mudah untuk seorang Toyo (nama panggilan Hartoyo) bisa ikut menimba ilmu di bangku kuliah di kampus itu, butuh perjuangan dan pengorbanan tentunya. Namun, Aceh tak hanya meninggalkan kenangan kebanggaan semata. Di Aceh pulalah ia mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari masyarakat dan kepolisian lantaran orientasi seksualnya yang tak seperti kebanyakan orang yang dipandang sebagai ‘normal’, dan Toyo diletakkan di kutub seberang sebagai ‘abnormal’ karena ia penyuka sesama jenis, sesama pria.

Namun, Toyo tetaplah Toyo. Kekerasan yang ditimpakan padanya tak serta merta membuatnya ‘jera’ dan menyembunyikan orientasi seksualnya yang sesungguhnya di balik topeng heteroseksualitas. Ia tetap setia pada pilihan hidup yang telah diambilnya, menjadi seorang gay, mengungkapkannya dengan jujur pada siapapun yang ingin mengetahuinya, dan tentu saja, ia tetap berpegang teguh pada komitmennya untuk berjuang demi nilai-nilai kemanusiaan yang kerap terasa jauh dari kaum minoritas dan terus menunggu datangnya keadilan atas penyiksaan yang pernah dialaminya dulu.

Terlepas dari pro dan kontra yang selalu mengiringi perjalanan hidup kaum homoseksual dan apakah detil kisah yang dipaparkan dalam buku ini mampu menguras air mata pembacanya atau tidak, buku ini telah layak untuk menambah referensi kita mengenai serba-serbi hidup dengan berbagai kisah dan lakon-lakon yang diperankan. Mungkin, buku inipun tak diluncurkan dalam rangka menjaring siapa yang setuju atau tidak setuju dengan adanya kaum homoseksual, yang nyata kisah ini mengajarkan tentang tingginya makna dalam sebuah kejujuran. Tak mudah memang menjalani hidup menuruti peran yang telah dipilih seperti pilihan seorang Toyo, menjadi homoseksual, entah gay entah lesbian, yang terang, mengungkapkan jati diri termasuk orientasi seksual kepada publik dengan sejujur-jujurnya adalah jauh lebih sulit. Apalagi orientasi seksual yang dilabel sebagai ‘abnormal’ di masyarakat. Masih pula jika beradu dengan ketatnya norma-norma, misalnya norma agama seperti yang ada di Aceh.

Sedikit ulasan ini tak akan mengungkit masalah orientasi seksual itu sendiri. Tak akan pula mendebat mengenai heteroseksual, homoseksual, biseksual, transeksual, dan sebagainya. Namun lebih pada apresiasi atas kejujuran Toyo atas jati dirinya dan ucapan terima kasih dari pemilik blog ini atas pelajaran yang tak secara eksplisit ingin disampaikan kepada para pembacanya, yaitu agar selalu belajar dan berusaha untuk menghargai orang-orang di luar sana yang ‘berbeda’ dari kita dalam berbagai hal, orientasi seksual adalah salah satunya.