Selasa, 26 Januari 2010

PRESENTASI?? SIAPA TAKUT?

Suka grogi kalau harus presentasi di depan kelas atau forum apapun? Bahkan sampai ngomongnya kacau? Keringat dingin? Hampir semua orang yang baru pertama kali presentasi atau berbicara di depan akan merasa seperti itu. Apalagi jika di depan orang-orang yang belum dikenal, belum siap materi, atau juga di depan orang-orang yang lebih senior. Ya, kalau sesekali sih tidak mengapa, wajar. Tapi kalau terus-terusan, bisa menghambat prestasi dan penghambatan diri, kan? Berikut ini beberapa tips yang dapat kamu coba untuk mengatasi masalahmu…Selamat mencoba!!

1. Siapkan materi
Ini wajib hukumnya. Susah kan, kalau harus presentasi tapi materinya belum siap bahkan tidak tahu sama sekali? Yah, minimal baca-baca sedikitlah. Syukur, bisa cari referensi-referensi lain yang relevan. Biar waktu presentasi bisa cas-cis-cus.

2. Rajin update info
Kalau yang ini bagusnya dilakukan tiap saat. Infonya bisa tentang apa saja. Apalagi sekarang akses media mulai media masa, buku, media elektronik sudah sangat mudah, pergaulan juga penting. Info apapun mudah didapat. Ini penting agar pengetahuan kita luas. Jadi, kalau sewaktu-waktu harus presentasi atau jadi pembicara mendadak tanpa tahu materinya terlebih dahulu, kita masih bisa tampil berbekal pengetahuan yang kita punya.

3. Tidur yang cukup
Tidak bisa dibenarkan, kalau dengan alasan besok presentasi lalu latihan mati-matian semalam suntuk agar besok lancar. Mana bisa belajar presentasi yang bagus hanya dalam waktu semalam. Ingat, semua butuh proses. Jadi, sisakan waktu untuk tidur yang cukup karena kurang tidur justru akan meningkatkan kecemasan dan depresi di esok hari. Bisa-bisa, presentasi jadi berantakan karena ngantuk dan tidak fokus.


4. Jangan lupa makan
Sederhana, tapi sering dilupakan orang. Perasaan nervous memang sering membuat tidak nafsu makan. Tapi, paling tidak makanlah beberapa sendok untuk mengisi perut. Ini penting untuk stamina. Untuk suplai energi ke otak. Tidak mungkin dapat presentasi dengan baik kalau kinerja otak menurun.

5. Berpakaian rapi dan nyaman
Pakaian yang rapi, bersih, dan sopan sesuai dengan situasi forum atau kelas, akan meningkatkan karisma kita di depan orang lain. Kita juga akan merasa lebih percaya diri karenanya. Faktor kenyamanan juga penting diperhatikan. Kalau kita merasa nyaman, dengan sendirinya orang lain juga akan nyaman melihat kita. Pakaian yang rapi dan nyaman akan meningkatkan face validity kita. Dari luar, orang lain akan menilai kita sebagai orang yang berkompeten.

6. Optimis dan ketenangan
Yakinkan diri kita sendiri bahwa ketika mampu menguasai forum atau kelas. Tanamkan dalam kepala kita, bahwa hanya butuh sedikit ketenangan dan semuanya akan berjalan dengan baik-baik saja. Kalau orang lain bisa melakukannya kenapa kita tidak? Kita tidak lebih buruk dari mereka, bahkan mungkin kita bisa tampil lebih baik dari pembicara-pembicara handal sekalipun.

7. Tarik nafas
Kalau rasa nervous sudah kembali menyerang, coba tarik nafas dalam-dalam dan hembuskan pelan-pelan. Lakukan satu atau dua kali sebelum berbicara untuk mendapatkan kembali ketenangan kita.

8. Tatap matanya
Jangan menghilangkan rasa nervous dengan menghindari tatapan mata lawan bicara. Itu justru akan membuat kita semakin grogi. Kita akan merasa mereka benar-benar sedang menilai kita, padahal kenyataan mungkin tidak demikian. Beranikan menatap mata lawan bicara satu persatu. Tak usah dipelototi, cukup sekilas saja tapi mengena benar pada matanya.

9. Berkutat pada catatan? NO
Kuasai poin-poin penting dari materi yang telah kita siapkan. Jangan terus menerus berkutat pada catatan yang kita bawa. Gunakan media seperti LCD atau OHP hanya sebagai media bantu untuk memudahkan audiens memahami materi. Hindari presentasi seperti orang membaca buku. Kembangkan poin-poin penting dengan bahasa kita sendiri.

10. Berdoa
Kalau semua sudah dipersiapkan, jangan lupa berdoa. Biar bagaimanapun, hanya dengan kuasa Tuhan, semua dapat berjalan lancar.




MENGGAPAI KASIH SEORANG IBU

JUST FOR MY MOM

Ibu, lihatlah kabut itu
Sejuk, lembut seperti kasihmu
Ibu, lihatlah senja itu
Anggun seperti aku mengenalmu
Ibu, jika waktu bisa membawamu padaku
Adakah kau mau kembali
Ibu, apakah surga lebih indah dari dunia
Hingga kau lebih suka di sana
Ibu, aku merindukanmu
Terlalu lama kau meninggalkanku
Ibu, kata orang
Surga ada di telapak kaki ibu
Jika ibu pergi terlalu jauh
Lalu di mana kudapatkan surga itu

Sajak di atas adalah sedikit penggambaran mengenai sosok ibu. Kurang lebih seperti itulah sosok ibu yang sempat saya kenal. Mungkin beberapa orang menganggapnya terlalu berlebihan jika kasih ibu diperumpamakan seperti kabut yang lembut dan seperti senja yang anggun karena mungkin beberapa orang di luar sana juga pernah mengalami hubungan yang kurang baik dengan ibu mereka.

Beberapa berita di media masa baik elektronik maupun cetak akhir-akhir ini juga banyak memuat berita yang mengabarkan adanya para ibu yang tega menelantarkan anak kandungnya, melakukan penyiksaan fisik maupun psikis, bahkan membunuh anaknya sendiri yang ia lahirkan dari rahimnya. Tak terbayangkan memang, bagaimana perasaan seorang anak jika ia telah tumbuh dewasa dan kemudian ia mengetahui bahwa ia pernah menjadi bulan-bulanan agresivitas ibu kandungnya pada masa-masa di mana ia seharusnya ada dalam buaian kasih sayang yang tulus dam memberikan kenyamanan serta rasa aman baginya yang masih belum berdaya.

Sakit hati, amarah, dan dendam mungkin ialah rasa yang bergelayut dalam hati anak itu. Tapi mungkin, ada pula yang dengan kedewasaannya, kemudian berusaha untuk memahami situasinya dan memilih untuk tidak mendendam karena pada kenyataannya di luar sana banyak pula ibu-ibu yang berjuang hidup mati demi anak-anaknya. Sungguh bijaksananya jika ia dapat berpikir seperti demikian. Namun, bukan berarti bahwa mereka yang kemudian membenci dan mendendam juga patut begitu saja disalahkan karena pengalaman dan kenyataan mengajarkannya untuk menjadi demikian.

Tengoklah pada ibu-ibu penyapu jalan yang rela bermandikan keringat dan berbedak debu dan asap tebal saban harinya demi anak-anaknya, demi perut-perut kecil yang minta diisi dan telah menanti di rumah. Bahkan, dari sebuah buku yang baru saya beli dan bahkan belum seluruhnya saya baca, dikisahkan bagaimana seorang ibu rela bekerja sebagai seorang PSK hanya demi harapan ia dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi sehingga mereka dapat bekerja di tempat yang lebih baik dari ibunya, istilahnya agar anak-anaknya ‘jadi orang’.

Salah memang cara yang dilakukan ibu itu. Tapi cobalah lihat dari sisi lain, bagaimana ia mengorbankan harga dirinya demi menjadi sosok ibu yang ‘bisa dibanggakan’ oleh anak-anaknya meski mungkin anak-anaknya tak akan pernah berbangga hati bahkan mungkin akan membencinya seumur hidup jika tahu bahwa ibunya seorang PSK.



“Kasih sayang seorang ibu seperti halnya matahari. Tak sepanjang waktu ia berjaga demi orang-orang yang selalu mengharapkannya dan menjadikan dunia sepenuhnya siang yang terang. Tapi adakalanya pula ia bersembunyi di balik pekatnya langit malam dan enggan membagi sinarnya untuk semesta, memilih mengenggam sinarnya hanya untuknya seorang. Kasih sayang ibu selayaknya matahari, ada saatnya ia terbit, ada kalanya pula ia tenggelam, untuk terbit di kembali di keesokan harinya. Kasih sayang seorang ibu bagai perjalanan sekuntum bunga. Ia bermula dari kuncup kecil yang membesar seiring waktu. Hingga tepat saatnya, kuncup mungil itu akan mekar sebagai bunga yang indah, memberikan kedamaian dan kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya. Tapi, seiring waktu yang terus bergulir, mungkin kau akan melihatnya layu dan mati. Tanpa ada yang tersisa, hanya meninggalkan kenangan atau mungkin tak pernah benar-benar ingin kau kenang dan kau pilih untuk melupakannya.”


Sedikit tulisan ini saya persembahkan untuk seorang wanita yang sangat berarti dalam kehidupan saya yang telah pergi terlalu cepat…

Selasa, 05 Januari 2010

SAAT KESEDIHAN MELANDA…

Anda pernah bersedih? Rasanya, hampir semua orang yang hidup di dunia ini pasti pernah merasakan yang namanya kesedihan. Kesedihan selalu menjadi bumbu dalam perjalanan panjang setiap orang. Walaupun kesedihan yang dialami setiap orang bisa memiliki berbagai macam variasi baik dalam masalahnya maupun derajat kepedihan yang dirasakannya, semua orang pasti pernah merasakannya.

Sedikit mengutip lagu dari sebuah band ternama, “Mengapa ada luka bila bahagia tercipta. Mengapa ada hitam bila putih menyenangkan.” Mungkin begitulah orang sering bertanya-tanya, mengapa harus ada kesedihan jika di dunia pun ada kebahagiaan yang terasa lebih menyenangkan. Tapi itulah hidup. Seorang wanita tidak akan terlihat cantik jika tidak ada wanita-wanita lain yang kurang sempurna parasnya. Sesuatu yang wangi dikatakan lebih baik karena ada yang tidak wangi.

Artinya, kebahagiaan hanya bisa dirasakan sebagai kebahagiaan yang menyenangkan jika ada kepedihan yang mengiris hati. Lebih jauh lagi, yang menjadikan hidup menjadi berwarna dan punya makna adalah karena adanya hal-hal yang lain sebagai sesuatu yang dapat diperbandingkan sekaligus dapat saling melengkapi. Menjadi tidak terlalu penting untuk terus-menerus berkutat dengan masalah yang menimbulkan kesedihan itu. Yang lebih penting ialah bagaimana mengatasinya agar kesedihan itu tidak terus berlarut-larut dan mengacaukan semua hal positif yang harusnya kita miliki.

Melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan, “Janganlah bersedih karena kesedihan. Karena kesedihan adalah hal yang wajar yang akan selalu menemani sepanjang hidup kita. Selama kita masih punya hati dan perasaan, adalah wajar jika kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti. Jadi, berdamailah dengan kesedihan yang kita rasakan. Sekali waktu, cobalah untuk berbahagia dengan kesedihan. Karena kesedihan akan terasa sangat menyakitkan tetapi juga akan membuat kita menjadi lebih kuat dan tangguh ketika kita mampu menghadapinya."

DON’T EVER TELL

RESENSI BUKU

Judul : Don’t Ever Tell
Penulis : Kathy O’Beirne
Penerbit : Esensi
Penerjemah: Ariavita P.
Terbit : 2007
Tebal : 352 halaman

Buku ini mengisahkan sebuah kisah nyata dari perjalanan hidup seorang bocah perempuan berumur delapan tahun yang masa kecilnya diwarnai dengan kekerasan oleh ayah kandungnya dan kemudian ia diserahkan oleh keluarganya kepada sebuah lembaga yang dikelola oleh gereja dan pemerintah Irlandia. Ia dikirim ke rumah Tuhan untuk dibina. Namun, yang terjadi kemudian bukannya dibina, ia justru dipukul, dianiaya, dan diperlakukan secara tidak manusiawi di lembaga tersebut. Di tempat yang seharusnya mengajarkan kasih dan yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai tempat yang suci, bocah itu justru diperdaya, dilecehkan, dan dikhianati.

Ketika ia mencoba berbicara tentang perlakuan yang diterimanya di intitusi tersebut, ia malah dikirimkan ke rumah sakit jiwa, dijadikan kelinci percobaan, dijejali obat-obatan yang memperburuk kondisinya, dan diberi terapi kejut tanpa penahan sakit. Ia bahkan dikirimkan ke sebuah institusi yang mempekerjakan anak-anak dan wanita seperti budak, yang juga terlibat dalam pelecehan dan praktik prostitusi terselubung. Buku ini adalah upayanya untuk mencari keadilan atas tindakan tak manusiawi yang diterimanya selama ini.

Dari apa yang diceritakan dalam buku ini, terlihat nyata bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidaklah baru sekarang ada seperti yang marak di berbagai pemberitaan media massa akhir-akhir ini. Lebih parah lagi, tindak kekerasan semacam itu masih dilestarikan bahkan di institusi yang semestinya menjadi tempat yang dapat diandalkan untuk pendidikan anak-anak. Tengoklah kisah yang ditulis dalam buku ini. Bagaimana seorang ayah begitu mendominasi di keluarga. Sebenarnya dominasi peran tidaklah salah. Yang salah ialah ketika seorang ayah atau bahkan siapapun, menggunakan peran dan kekuasaannya untuk menteror dan menindas orang-orang yang lebih lemah darinya, orang-orang yang berada dalam naungannya.

Tindak kekerasan yang diterima oleh tokoh utama dalam kisah ini tentu saja tidak hanya menimbulkan ketakutan dan kesakitan baik fisik maupun psikis untuk sementara waktu tetapi juga trauma yang luar biasa sepanjang hidupnya. Trauma yang jika tidak dikelola dan ditangani dengan baik akan menjadi mata rantai tak terputus dari tindak-tindak kekerasan yang lain. Karena trauma semacam ini, yang dialami oleh seseorang, akan dapat menimbulkan dendam pada diri orang tersebut sehingga jika kelak ia bertemu dengan orang yang lebih lemah darinya, dendam karena trauma masa lalu ini akan muncul dalam bentuk penindasan pada orang lain.

Kalau pun tidak demikian, trauma itu akan merenggut kesehatan mental korbannya. Bukan tidak mungkin, mereka akan tinggal di rumah sakit jiwa sebagai seorang pesakitan seumur hidupnya. Kalau pun kemudian, korban kekerasan ini dapat menampilkan dirinya seakan-akan baik-baik saja di depan umum, tentu tetap tidak dapat dibenarkan merenggut hak kebahagiaan dan hak kebebasan dari penderitaan yang dimiliki setiap orang dengan jalan melakukan penganiayaan. Satu dari banyak pesan moral yang dapat diambil dari kisah ini, apapun yang terjadi, berbagi kasih dan menghormati kehidupan orang lain ialah mutlak diperlukan. Hanya dengan itulah, rantai kekerasan diharapkan dapat diputuskan.




DARI HOMOSEKSUAL HINGGA HETEROSEKSUAL

RESENSI BUKU

Judul : Perempuan Semusim
Penulis : Amitri Dinar Sari
Penerbit : Ruas
Terbit : Desember, 2005
Tebal : 233 halaman


Buku yang berjudul lengkap “Perempuan Semusim (Kisah Nyata Metamorfosa Lesbian ke Heteroseksual) ini mengkisahkan kisah nyata dua orang perempuan yang saling mencintai. Percintaan sesama jenis ini pun dihadang dilema. Mana yang harus dipilih, cinta atau kehidupan pada umumnya? Haruskah jalan yang selalu dipilih oleh para pecinta sesama jenis adalah lari dari kenyataan hakiki dirinya dan memilih melepaskan hak hidupnya? Apakah ancaman palu godam sanksi sosial berupa tekanan, ejekan, dan pengucilan oleh masyarakat akan menakutkan dan mampu membuat para pecinta sejenis ini memilih memasuki kehidupan pada umumnya?

Buku karya Amitri Dinar Sari ini sangat menarik untuk dibaca karena buku ini berani menceritakan kisah nyata kehidupan cinta kaum lesbian di mana kisah lesbian masih jarang diungkap secara terang-terangan di Indonesia. Homoseksual masih seringkali dianggap sebagai sesuatu yang tabu, sesuatu yang dipungkiri keberadaannya, dan tak patut diperbincangkan di depan publik. Buku ini menceritakan sulitnya seorang lesbian mengungkapkan jati dirinya kepada masyarakat dan keluarganya dan konflik-konflik yang terjadi akibat pilihannya menjadi pecinta sesama jenis.

Ketakutan akan sanksi-sanksi sosial yang akan diterimanya jika identitasnya terkuak dan ketakutan jika keluarganya tidak bisa menerima orientasi seksualnya membuat kaum lesbian ini berpikir ulang mengenai jalan hidupnya. Entah karena kesadaran yang sepenuhnya dan jalan takdir atau hanya keterpaksaan semata, hingga seorang lesbian ini memilih untuk mencintai laki-laki saja. Jika metamorfosa ini hanya keterpaksaan semata, berarti tinggal menunggu waktu saja. Jika ada kesempatan dan jika masyarakat mulai bisa menoleransi, membuka ruang untuk kaum pecinta sesama jenis, dengan sangat mudahnya ia akan kembali menjadi seorang lesbian.

Tokoh utama dalam buku ini, kendati pada akhirnya memilih untuk membina hubungan dengan seorang laki-laki, toh pada kenyataannya, mantan kekasih sesama jenisnya tetap mengisi satu ruang di hatinya. Ruang yang tak bisa diganti oleh lelaki manapun. Sayangnya, buku ini masih belum menceritakan kisah lesbian ini secara mendalam. Buku ini hanya mengupas sisi kecil dari perjalanan hidup seorang lesbian, seakan-akan hanya permukaannya saja. Alangkah lebih menarik lagi bila buku ini menyajikan kisah secara mendalam berikut segala konfliknya.

Namun demikian, buku ini tetap menarik untuk dibaca karena banyak pelajaran hidup yang dapat diambil dari kisah ini. Apalagi bagi Anda yang bergerak di bidang psikologi atau sosiologi. Kisah dalam buku ini memang bertaut erat antara realitas yang ada di masyarakat dan kondisi psikis para pelakunya. Kisah ini bisa mengajari kita untuk lebih arif dalam menyikapi perbedaan-perbedaan dalam pilihan hidup orang lain. Realita homoseksual memang sering disikapi dengan banyak cara. Kendati para pecinta sesama jenis ialah kaum minoritas, menghujat mereka pun bukan solusi yang baik. Kisah dalam buku ini mungkin bisa menambah pemahaman para pembacanya akan kehidupan homoseksual. Bukan masalah setuju atau tidak setuju, tetapi sebatas memahami dan sebisa mungkin menghargai pilihan hidup masing-masing.

LARUT SEJENAK DALAM KISAH SEORANG GEISHA

RESENSI BUKU

Judul : Memoirs of a Geisha (Memoar Seorang Geisha)
Penulis : Arthur Golden
Penerjemah : Listiana Srisanti
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Januari, 2002
Tebal : 490 halaman


Memoar Seorang Geisha mengajak kita memasuki dunia geisha yang penuh rahasia, dunia di mana penampilan sangatlah penting, di mana keperawanan seorang gadis dilelang kepada penawar yang paling tinggi, di mana perempuan-perempuan dilatih untuk memikat laki-laki yang paling berkuasa, dan di mana cinta dicemooh sebagai ilusi belaka.

Buku ini menceritakan perjalanan hidup sang tokoh utamanya, Sayuri. Kisah Sayuri bermula di desa nelayan miskin pada tahun 1929, ketika sebagai anak perempuan berusia sembilan tahun dengan mata biru-kelabu yang luar biasa, dijual ke sebuah rumah geisha terkenal. Tidak tahan dengan kehidupan di rumah itu, ia mencoba melarikan diri. Tindakan itu membuatnya terancam menjadi pelayan seumur hidup. Saat meratapi nasibnya di tepi Sungai Shirakawa, ia bertemu Iwamura Ken. Di luar kebiasaan, pria terhormat ini mendekati dan menghiburnya. Saat itu, Sayuri bertekad akan menjadi geisha, hanya demi mendapat kesempatan bisa bertemu lagi dengan pria itu, suatu hari nanti.

Melalui Sayuri, kita menyaksikan suka duka wanita yang mempelajari seni geisha yang berat, menari dan menyanyi, memakai kimono, make up tebal, dan dandanan rambut yang rumit, menuang sake dengan cara yang sesensual mungkin, bersaing dengan sesama geisha memperebutkan pria-pria dan kekayaan mereka. Namun, ketika Perang Dunia II meletus dan rumah-rumah geisha terpaksa ditutup, Sayuri, dengan sedikit uang dan lebih sedikit lagi makanan, harus mulai lagi dari awal untuk menemukan kebebasan yang langka dengan cara-caranya sendiri.

Kisah nyata yang ditulis dalam buku ini memang sangat mengharukan. Berbalut setting kehidupan di Jepang pada masa tersebut, buku ini mampu mengantarkan para pembacanya menyelami kehidupan geisha pada masa itu. Detail-detail peristiwa dan suasana diceritakan dan digambarkan dengan sangat baik dalam buku ini. Ini mungkin hanya salah satu kisah seorang geisha dari geisha-geisha yang lain yang memiliki jalan cerita hidupnya sendiri-sendiri.

Namun, kisah Sayuri cukup memberikan pelajaran yang berharga mengenai kehidupan, bagaimana sulitnya hidup ketika dihadapkan pada berbagai kesulitan ekonomi, budaya pada masa itu, perjuangan mencari cinta sejati, bahkan kekacauan ketika Perang Dunia II, perang besar yang melegenda, terjadi. Jika Anda punya cukup waktu luang, tidak ada salahnya buku ini menjadi alternatif pilihan untuk Anda baca dan menjadi koleksi di perpustakaan pribadi Anda.