Selasa, 05 Januari 2010

DON’T EVER TELL

RESENSI BUKU

Judul : Don’t Ever Tell
Penulis : Kathy O’Beirne
Penerbit : Esensi
Penerjemah: Ariavita P.
Terbit : 2007
Tebal : 352 halaman

Buku ini mengisahkan sebuah kisah nyata dari perjalanan hidup seorang bocah perempuan berumur delapan tahun yang masa kecilnya diwarnai dengan kekerasan oleh ayah kandungnya dan kemudian ia diserahkan oleh keluarganya kepada sebuah lembaga yang dikelola oleh gereja dan pemerintah Irlandia. Ia dikirim ke rumah Tuhan untuk dibina. Namun, yang terjadi kemudian bukannya dibina, ia justru dipukul, dianiaya, dan diperlakukan secara tidak manusiawi di lembaga tersebut. Di tempat yang seharusnya mengajarkan kasih dan yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai tempat yang suci, bocah itu justru diperdaya, dilecehkan, dan dikhianati.

Ketika ia mencoba berbicara tentang perlakuan yang diterimanya di intitusi tersebut, ia malah dikirimkan ke rumah sakit jiwa, dijadikan kelinci percobaan, dijejali obat-obatan yang memperburuk kondisinya, dan diberi terapi kejut tanpa penahan sakit. Ia bahkan dikirimkan ke sebuah institusi yang mempekerjakan anak-anak dan wanita seperti budak, yang juga terlibat dalam pelecehan dan praktik prostitusi terselubung. Buku ini adalah upayanya untuk mencari keadilan atas tindakan tak manusiawi yang diterimanya selama ini.

Dari apa yang diceritakan dalam buku ini, terlihat nyata bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidaklah baru sekarang ada seperti yang marak di berbagai pemberitaan media massa akhir-akhir ini. Lebih parah lagi, tindak kekerasan semacam itu masih dilestarikan bahkan di institusi yang semestinya menjadi tempat yang dapat diandalkan untuk pendidikan anak-anak. Tengoklah kisah yang ditulis dalam buku ini. Bagaimana seorang ayah begitu mendominasi di keluarga. Sebenarnya dominasi peran tidaklah salah. Yang salah ialah ketika seorang ayah atau bahkan siapapun, menggunakan peran dan kekuasaannya untuk menteror dan menindas orang-orang yang lebih lemah darinya, orang-orang yang berada dalam naungannya.

Tindak kekerasan yang diterima oleh tokoh utama dalam kisah ini tentu saja tidak hanya menimbulkan ketakutan dan kesakitan baik fisik maupun psikis untuk sementara waktu tetapi juga trauma yang luar biasa sepanjang hidupnya. Trauma yang jika tidak dikelola dan ditangani dengan baik akan menjadi mata rantai tak terputus dari tindak-tindak kekerasan yang lain. Karena trauma semacam ini, yang dialami oleh seseorang, akan dapat menimbulkan dendam pada diri orang tersebut sehingga jika kelak ia bertemu dengan orang yang lebih lemah darinya, dendam karena trauma masa lalu ini akan muncul dalam bentuk penindasan pada orang lain.

Kalau pun tidak demikian, trauma itu akan merenggut kesehatan mental korbannya. Bukan tidak mungkin, mereka akan tinggal di rumah sakit jiwa sebagai seorang pesakitan seumur hidupnya. Kalau pun kemudian, korban kekerasan ini dapat menampilkan dirinya seakan-akan baik-baik saja di depan umum, tentu tetap tidak dapat dibenarkan merenggut hak kebahagiaan dan hak kebebasan dari penderitaan yang dimiliki setiap orang dengan jalan melakukan penganiayaan. Satu dari banyak pesan moral yang dapat diambil dari kisah ini, apapun yang terjadi, berbagi kasih dan menghormati kehidupan orang lain ialah mutlak diperlukan. Hanya dengan itulah, rantai kekerasan diharapkan dapat diputuskan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar