Minggu, 25 Oktober 2009

DAYA DUKUNG KELUARGA UNTUK KESEHATAN MENTAL ANAK

Keluarga terutama orang tua seringkali menyalahkan anaknya habis-habisan ketika anaknya melakukan kesalahan, berbuat onar, bahkan mungkin terlibat tindak kriminal. Bahkan kalau di sinetron-sinetron, seringkali para orangtua mengatakan pada anaknya yang berbuat onar,”Apa ayah dan ibu pernah mengajarkan seperti itu?!!?”. Sadarkah kita, bahwa keluarga terutama orangtua berpartisipasi begitu besar dalam membentuk kepribadian dan perilaku anak??

Keluarga merupakan lembaga sosial yang pertama dikenal anak. Di lembaga inilah, untuk pertama kalinya seorang anak mengenal dunia di luar dirinya. Ada tiga fungsi tradisional keluarga, yaitu fungsi sosial ekonomi, fungsi ikatan biososial, dan proses pendidikan. Seiring perkembangan zaman, fungsi keluarga juga mengalami perkembangan, namun pada dasarnya tidak meninggalkan tiga fungsi utama ini. Keluarga, dilihat dari sisi kesehatan mental, memang sangat kompleks. Selain keluarga dapat berfungsi sebagai intitusi sosial yang dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya, juga dapat menjadi sumber masalah bagi kesehatan mental. Berbagai gangguan mental, seperti skizofrenia, depresi, gangguan kecemasan, ketergantungan obat, gangguan tingkah laku, dan psikopatologi lainnya banyak dihubungkan dengan kurang baiknya interaksi di antara anggota keluarga (Lange, 1993).

A. IBU DAN PERILAKU ANAK
Ibu sebagai orang pertama yang menjalin hubungan dengan sang anak sejak anak di dalam kandungan tentu sangat berpengaruh pada perkembangan anak selanjutnya. Jika kehamilan ini merupakan kehamilan yang diharapkan, maka akan memupuk hubungan yang baik antara ibu dan anak kelak di kemudian hari. Jika merupakan kehamilan yang tidak diharapkan, misalnya karena hubungan seks di luar nikah maka ibu akan cenderung untuk memusuhi bayinya. Hal ini dapat membentuk perilaku anak bahkan hingga anak tumbuh dewasa. Ibu sangat berperan penting dalam menumbuhkan emosi yang hangat dalam diri anak untuk berhubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Ketidakmampuan ibu dalam membangun hubungan emosional yang hangat dan stabil dengan anak, berpotensi untuk mengacaukan kehidupan emosional anak hingga dewasanya sehingga ia sulit untuk menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain dan terlihat tidak berperasaan.
Apabila ibu tidak mempunyai cukup waktu untuk mendidik anaknya, maka sang anak akan terlantar emosinya. Demikian pula bila seorang ibu marah-marah pada anaknya atau bersikap memusuhi anak-anaknya maka anak akan menjadi tersisihkan. Anak akan merasakan kesukaran hidup di dalam rumahnya sendiri. Keadaan ini sangat berpotensi menimbulkan frustrasi pada anak. Keadaan frustrasi yang menumpuk akan menbentuk perilaku anak yang cenderung menjadi asosial, dan berteman dengan anak-anak yang juga mengalami kelainan tingkah laku. Namun, ini bukan berarti anak tidak boleh sama sekali merasakan frustrasi dan semua keinginan anak selalu dipenuhi. Frustrasi dan tidak memenuhi semua yang anak inginkan dapat mengajarkan pada anak bahwa tidak semua hal dalam hidupnya nanti akan selalu berjalan sesuai dengan yang ia mau sehingga anak tidak mudah putus asa ketika apa yang diinginkannya tidak tercapai.

B. AYAH DAN PERILAKU ANAK
Menurut teori psikoanalisa, ayah memiliki peran dalam hal anak memecahkan kompleks oedipusnya. Impuls-impuls seksual mempengaruhi perkembangan anak. Pada anak laki-laki hal ini berlangsung lewat rasa takut pada ayah, maka ia kemudian mendekati ibunya. Pada anak perempuan hal ini lewat rasa takut kehilangan ayahnya karena kecintaan ibu terhadap ayahnya, maka ia mendekati ayahnya. Proses ini menimbulkan kecintaan pada lawan jenis (heteroseksual) pada anak. Kalau tidak ada ayah atau ayah tidak dapat berperan sesuai dengan perannya, akan terjadi kesulitan dalam perkembangan seksual anak sehingga anak tertarik pada sesama jenis (homoseksual).
Wolfgang Lederer mengatakan bahwa kasih sayang ibu tidak bersyarat dan kasih sayang ayah adalah atas dasar tuntutan dan bersifat bersyarat terhadap prestasi. Kekurangan peran ayah akan mengakibatkan kurangnya daya juang anak dan jeleknya kemampuan adaptasinya. Lederer membedakan antara keterlantaran peran ayah terhadap keluarga yaitu bila ayah meninggal, cerai atau pisah. Pada kasus cerai, pengaruh buruknya lebih menonjol. Dikatakannya, bahwa pada anak laki-laki pengaruhnya lebih besar daripada perempuan, tetapi bila anak perempuan sudah menginjak remaja, pengaruh ini terlihat pada ketidakmampuan anak perempuan untuk bergaul dengan laki-laki. Anak perempuan tersebut kelak juga mengalami banyak kegagalan dalam mencapai orgasme ketika berhubungan seksual karena kebenciannya terhadap laki-laki.

Namun, pada keluarga yang tampak utuh dapat juga terjadi depresi yang dinamakan depresi terselubung karena fungsi ayah ataupun ibu tidaklah sebagaimana mestinya. Kondisi-kondisi tertentu terkait dengan keluarga juga menyebabkan timbulnya konflik-konflik tertentu pada anak, yaitu:
1. Ditolak orang tua
Ada pasangan suami istri yang tidak pernah bisa memikul tanggung jawabnya sebagai ayah dan ibu sebab keduanya masih ingin meneruskan kehidupan lamanya seperti ketika sebelum menikah. Jika kemudian mereka memiliki anak, mereka cenderung bersikap menolak atau mengabaikan anak-anaknya karena anak dianggap sebagai beban dan hambatan serta mengahalang-halangi kebebasan mereka dan merepotkan. Anak-anak yang lahir dan besar dalam keluarga seperti ini, tidak pernah merasa bahagia karena ditolak kedua orang tuanya, selalu merasa cemas, menaruh dendam, tidak betah tinggal di rumah sendiri, hidupnya dipenuhi kepahitan hati, ada kecenderungan untuk menyendiri dan menarik diri dari pergaulan, kadang timbul agresivitasnya. Pada akhirnya, anak-anak ini tumbuh sebagai orang yang kurang memiliki cinta kasih dan simpati terhadap orang lain.

2. Broken homes
Bila dalam keluarga terjadi keretakan dan perceraian tidak dapat dihindarkan, akan timbul rentetan kesulitan terutama bagi si anak. Anak harus memilih satu pihak, ikut ayah atau ibu. Tidak jarang, pertikaian antara ayah dan ibu masih terus dilanjutkan melalui konflik-konflik batin dan pertikaian pada diri anak-anak tersebut. Dalam kondisi keluarga yang retak ini seringkali baik ayah maupun ibu selalu mempertahankan egonya masing-masing untuk membenarkan sikapnya sendiri. Dalam situasi seperti ini anak akan tumbuh dengan ketidakamanan emosional dan selalu ragu-ragu. Ia harus menghadapi pertikaian kedua orang tuanya dan ia harus pula menghadapi kebimbangan hatinya sendiri.

Dalam kondisi keluarga yang retak kemudian berujung dengan perceraian, kemudian sering dilanjutkan dengan hadirnya orang tua tiri, ayah atau ibu baru. Beberapa anak mungkin mengalami hubungan yang baik dengan orang tua tirinya, namun seringkali hubungan anak dengan orang tua tiri berjalan tidak serasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan orang tua tiri dengan anak yaitu:
1. Pihak anak
a. Kenangan akan orang tuanya sendiri, bila telah meninggal.
b. Kontak sewaktu-waktu dengan orang tua kandung, bila masih hidup.
c. Seberapa baik anak itu mengenal orang tua tiri sebelum mereka berperan sebagai orang tua tiri.
d. Seberapa radikalnya perbedaan cara mendidik antara orang tua tiri dengan pendidikan yang dialami anak sebelumnya.
e. Sikap kelompok teman sebaya terhadap anak yang mempunyai orang tua tiri.
f. Stereotip bahwa orang tua tiri itu jahat.

2. Pihak orang tua tiri
a. Alasan orang tua menjadi orang tua tiri, apakah rasa sayang pada anak atau semata-mata keinginan untuk menikah.
b. Minat dan perhatian orang tua tiri terhadap anak.
c. Perasaan tidak senang dengan minat anak pada orang tua kandungnya misalnya ketika anak membicarakan orang tuanya yang telah meninggal ataupun menyatakan keinginannya tinggal bersama orang tua kandungnya, jika masih hidup.
d. Pilih kasih pada anak sendiri.
e. Pengaruh anak tiri pada hubungan pernikahan.

Sedikit ulasan di atas semoga dapat memperluas pengetahuan kita dan dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Semoga bermanfaat…

Literatur:
Hurlock, Elizabeth B. 2006. Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Kartono, Kartini. 2000. Hygiene Mental. Bandung: Mandar Maju
Notosoedirjo, Latipun., Latipun. 2005. Kesehatan Mental. Malang: UMM Press

Rabu, 16 September 2009

MEMANDANG HOMOSEKSUALITAS DARI KACAMATA PSIKOLOGI

Beberapa di antaranya berperan sebagai butchi, beberapa yang lainnya lebih sebagai femme… Sayang, kita tidak pernah tahu pada siapa hati akan berlabuh…”

Istilah “homoseksual” dapat merujuk pada pria maupun wanita. Pada wanita biasa disebut lesbian sedangkan pada laki-laki biasa disebut sebagai gay. Istilah butchi dan femme biasa digunakan dalam hubungan lesbian. Butchi ialah lesbian yang lebih berperan sebagai laki-laki (lesbian laki-laki) sedangkan femme ialah lesbian yang lebih berperan sebagai perempuannya. Individu dianggap homoseksual jika secara seksual tertarik terutama pada individu lain berjenis kelamin sama. Sebagian ahli menyetujui pandangan Kinsey bahwa homoseksualitas bukanlah suatu masalah dan atau; perilaku seksual jatuh di dalam suatu kesinambungan, dengan individu heteroseksual secara eksklusif di ujung rangkaian dan homoseksual secara eksklusif di ujung rangkaian yang lain. Di antara keduanya, ada berbagai campuran perilaku seksual.

HOMOSEKSUALITAS DAN KESEHATAN MENTAL

Sampai munculnya revolusi seksual pada akhir tahun 1960-an, homoseksualitas dianggap suatu penyakit mental atau penyimpangan abnormal. Walaupun masih banyak orang memandang homoseksualitas sebagai sesuatu yang tidak alami, sebagian besar ahli psikologi dan psikiater menganggapnya sebagai varian ekspresi seksual dan bukan merupakan indikasi ataupun penyebab penyakit mental. Dalam sebagian penelitian tentang kesehatan mental, homoseksual dipandang sama baiknya seperti heteroseksual dalam bidang kehidupan lain (Bell & Weinberg, 1978). Singkatnya, tidak ada bukti bahwa orientasi homoseksual sendiri berkaitan dengan kondisi kesehatan mental yang buruk.

LINGKUNGAN VS BIOLOGIS

Walaupun telah banyak riset mengenai homoseksualitas dilakukan, namun masih sedikit yang dapat diketahui mengenai penyebab homoseksualitas. Sejauh ini, belum ditemukan perbedaan dalam hal karakteristik tubuh antara homoseksual dengan heteroseksual. Walaupun sebagian homoseksual pria mungkin tampak sangat feminim dan sebagian homoseksual wanita tampak sangat maskulin. Artinya, belum tentu pria yang penampilan atau perilakunya agak feminim ialah seorang gay dan bukan berarti pula wanita yang berpenampilan maskulin pasti lesbi.
Perbedaan biologis yang lebih masuk akal ialah hormon. Hipotesis biologis berkaitan dengan ini ialah bahwa homoseksual dan heteroseksual mengalami perbedaan pemaparan hormonal pada saat masih di dalam kandungan. Selama kehidupan prenatal, janin laki-laki mensekresikan testosteron dan testosteron ini menyebabkan maskulinitas otak. Janin laki-laki yang mendapatkan testosteron yang lebih rendah pada masa kritis kehidupan prenatal mendapatkan predisposisi ke arah homoseksualitas pasa masa dewasanya. Demikian pula, janin perempuan yang terpapar dengan testosteron dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata mungkin terpredisposisi ke arah lesbianisme pada masa dewasanya.

Hipotesis ini juga didukung oleh penemuan terakhir yang menunjukkan adanya perbedaan anatomis antara pria heteroseksual dengan pria homoseksual (Le Vay, 1991). Hipotalamus merupakan daerah otak yang kemungkinan terpengaruh oleh testosteron dalam rahim. Namun, hipotesis ini hanya berlaku pada kasus homoseksual eksklusif. Pada kasus homoseksual yang lain, homoseksualitas sepenuhnya dipelajari dan jika diinginkan, dapat diubah melalui terapi.

Pada umumnya, kaum homoseksual sendiri tidak mengetahui mengapa mereka menjadi demikian. Sebagian dari mereka ada yang dapat menerima keadaan dirinya dan hidup dengan senang sebagai homoseksual (dinamakan egosintonik) dan sebagian lagi tidak bisa menerima keadaan dirinya, merasa dirinya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku sehingga mereka terus menerus berada dalam konflik (disebut egodistonik), (PPDGJ, 1983:241). Golongan terakhir inilah yang sering menjadi klien atau pasien psikolog maupun psikiater.
Konflik batin antara mematuhi norma dengan menyalurkan hasrat yang dilarang masyarakat, menurut Malyon bukan disebabkan oleh homoseksualitas itu sendiri. Akan tetapi, oleh sikap negatif masyarakat yang tidak semestinya, sehingga masyarakat inilah yang harus diubah melalui penerangan dan pendidikan (Bales, 1985).

Karena sifatnya yang sangat tergantung pada norma sosial budaya, sulit untuk menyatakan homoseksual ini sebagai penyakit atau kelainan atau gangguan jiwa. Oleh karena itu, gejala ini tidak lagi digolongkan sebagai penyakit atau gangguan jiwa lagi. Seperti diungkapkan oleh Freud bahwa pada setiap manusia terdapat dorongan biseksual. Pada sebagian besar orang, dorongan ini berkembang ke arah jenis kelamin yang berbeda dan menjadikannya heteroseksual. Pada sebagian lainnya, dorongan ini berkembang menjadi homoseksual. Di antara dua ekstrim ini, ada perpaduan keduanya. Dari pengalaman orang-orang yang pernah menangani langsung kasus homoseksualitas, terdapat beberapa orang dengan orientasi seks sesama jenis yang memiliki ciri-ciri tertentu , lebih mudah dibantu untuk menuju heteroseksual. Ciri-ciri tersebut ialah:
1. Umur di bawah 35 tahun,
2. Pernah mengalami aktivitas heteroseksual,
3. Mempunyai motivasi tinggi.
(Tobing, 1988:33).

“Jika homoseksual dipandang sebagai pilihan hidup yang dijalani seseorang, alangkah lebih baik kita belajar untuk menghargainya. Memahami apa yang menjadi penyebabnya melalui ilmu pengetahuan mungkin akan lebih bijak daripada menghujat keberadaannya. Toh, menghargai tak berarti pula menyetujuinya.”

Minggu, 06 September 2009

TEGAR DAN KETEGARANNYA

Seorang bocah bernama Endi Tegar Kurniadinata yang baru berumur 4 tahun, harus kehilangan kaki kanannya hingga sebatas lutut akibat ulah ayah kandungnya. Pagi-pagi buta, Tegar, begitu anak ini biasa dipanggil, digendong sang ayah menuju perlintasan kereta api sebelum kemudian tubuh mungilnya diletakkan sang ayah di atas rel KA. Sesaat kemudian, KA Bangunkarta pun melintas. Tak pelak, kaki kanan Tegar pun langsung terlindas KA dan lepas. Bukannya menolong, sang ayah justru kabur meninggalkannya. Tegar pun berusaha pulang ke rumah dengan merangkak. Luka di kakinya yang buntung itu hanya terlindung oleh celana. Hingga ia sampai di rumah dan berteriak, “Mbah…Mbah…kakiku copot…”.

Kisah di atas saya kutip dari berita yang dimuat rubrik peristiwa, Tabloid Nova edisi 13 – 19 Juli 2009. Ironis, seorang ayah yang semestinya selalu menjaga dan melindungi anaknya, justru tega merenggut masa depannya yang panjang. Jika bukan kuasa Tuhan, mungkin Tegar tidak hanya akan kehilangan kakinya tetapi juga nyawanya. Konon, sang ayah tega melakukan tindakan keji itu lantaran percekcokannya dengan sang istri yang juga ibu kandung Tegar. Apapun alasannya, tidak sepatutnya percekcokan yang terjadi antara suami-istri sampai berimbas pada anak apalagi sampai nyaris merenggut nyawanya.

Contoh kasus di atas ialah salah satu bentuk kekerasan/penindasan fisik yang dialami anak. Anak-anak memang rentan mengalami kekerasan, entah kekerasan fisik maupun psikis. Ini lantaran mereka belum punya kendali atas diri mereka sendiri dan kekuatan yang masih sangat terbatas untuk melawan orang-orang dewasa bahkan orang tua sendiri yang melakukan penindasan terhadap mereka. Tapi itu bukan berarti sah-sah saja anak-anak menjadi sasaran penindasan dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Justru menjadi kewajiban bagi semua orang dewasa di sekitarnya, apalagi orang tua, untuk melindungi anak-anak dari hal-hal yang dapat membahayakannya.

Luka di kaki Tegar mungkin akan sembuh sebentar lagi. Tegar mungkin juga akan segera terbiasa menggunakan alat-alat untuk membantunya berjalan. Darah juga sudah berhenti mengucur dari luka itu. Tapi bagaimana dengan cita-citanya menjadi tentara yang harus kandas? Bagaimana ia akan menghadapi orang-orang di luar sana yang mungkin mencibir kecacatannya? Bagaimana peristiwa traumatis itu akan membayang-banyanginya setiap malam? Bagaimana jika suatu saat nanti temannya bertanya, “Bagaimana ayahmu, apakah ia ayah yang baik?”, apakah Tegar harus menjawab, “Ayahku yang membuat kakiku copot…”, ?

Tegar masih terlalu muda untuk semua itu. Seperti kata Sigmund Freud, tokoh psikologi dunia, pengalaman lima tahun awal kehidupan seseorang akan menentukan masa depan orang itu. Mungkin itu pula yang akan terjadi pada Tegar. Seorang ayah yang seharusnya menjadi teladan baginya, yang seharusnya bisa melindunginya, dan yang seharusnya bisa selalu ia percaya, justru nyaris merenggut nyawanya dan menghancurkan masa depannya yang masih sangat panjang. Bukan tidak mungkin, saat dewasa nanti, Tegar akan kehilangan kepercayaan kepada orang lain lantaran peristiwa tragis yang dialaminya itu. Belum lagi rasa minder yang akan ia rasakan karena fisiknya yang tidak sempurna seperti anak-anak lain.

Tegar boleh saja tidak menangis ketika harus merangkak pulang dengan kaki berdarah-darah, tapi mungkin tidak dengan hatinya. Hatinya mungkin tidak hanya menangis tapi bahkan menjerit. Sayang, masih banyak Tegar-Tegar yang lain di luar sana, yang menangis bahkan menjerit pilu lantaran ditindas oleh orang tuanya sendiri, orang yang seharusnya bisa mereka andalkan.